Pola cuaca makin lokal dan sulit prediksi. Bahkan alat secanggih apapun kini tidak mampu akurat memprediksi cuaca di Indonesia.
Laporan ANDI NOVIRIYANTI, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.co.id
Ina Mulyani, Kasubid Perubahan Iklim dan Perlindungan Atsmosfir Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Riau, sudah beberapa kali dibuat bingung dengan pola cuaca yang tidak menentu. “Sudah beberapa kali saya bertemu dengan pola cuaca yang tidak menentu ini. Di kantor saya hujan lebat, namun di Jalan Sudirman nggak hujan,” ujarnya, Kamis (27/8).
Padahal jarak antara kantornya yang beralamat di Jalan Thamrin, Kecamatan Sail dengan Jalan Sudirman hanya kisaran tiga-lima kilometer. “Aneh juga sekarang ini, sepertinya cuaca kian lokal. Padahal dulu, bila hujan di suatu tempat, maka pasti hujan di mana-mana,” ungkapnya.
Tidak hanya Ina yang merasakan perubahan pola cuaca ini. Antony Harry, seorang jurnalis juga punya pengalaman sama. Contohnya pekan lalu, dia sedang berada di Jalan Sumatera dan karena hujan, akhirnya pria yang hari itu naik kendaraan roda dua ini terpaksa berteduh. Namun anehnya, temannya yang berada di tempat lain, yang memiliki janji bertemu dengannya, menyatakan di tempatnya sedang tidak hujan.
“Jalan Paus nggak hujan,” ungkap seorang temannya yang hari itu memilih menembus hujan meninggalkan Antony setelah mendapat informasi dari temannya. Dia menyebutkan hujan hanya terjadi di tempat itu. Sementara di Jalan Paus, yang lokasinya hanya beberapa kilometer dari tempat itu hari sedang terang menderang.
Tak hanya mereka, Riau Pos juga kerap punya pengalaman yang lebih ekstrim, yakni satu jalan dua cuaca. Waktu itu, di Jalan Sudirman di depan Kantor Gubernur hari tengah hujan lebat. Namun begitu kendaraan roda empat melewati Jalan Sudirman di depan Kantor DPRD Riau hari panas terik. Tidak ada tanda-tanda hujan ataupun mau hujan.
Pola cuaca, menurut Armi Susandi, Wakil Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Kamis (27/8), memang kian tidak menentu saat ini. Pola cuaca kian lokal. Secara ilmiah, itu katanya terkait dengan temperatur, massa udara, letak geografis dan banyaknya air di sekitar kawasan itu. Jadi kondisi satu jalan dua cuaca itu tidak aneh lagi. Karena itu terkait dengan jumlah kendaraan di tempat itu, jumlah penduduk atau daerah tutupan di kiri kanan jalan, letak geografis dan keberadaan air di sekitarnya.
Dosen yang membidangi iklim di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, bahkan mengungkapkan, saat ini topografi di kawasan Indonesia, apalagi di Sumatera tidak datar. Itu sebabnya, pola cuaca menjadi sangat lokal. Bahkan, menurutnya pola cuaca makin tidak bisa diprediksi. “Alat secanggih apapun, tidak akan bisa tepat memprediksi cuaca di Indonesia. Berbeda dengan di Eropa, kawasan mereka cenderung dataran. Jadi kalau alat secanggih apapun dibawa dari Eropa ke tempat kita, maka tidak akan akurat hasilnya. Sebaliknya alat di tempat kita mungkin bisa akurat di sana,” paparnya menjawab pertanyaan Riau Pos mengapa pola cuaca kini sulit diprediksi.
Apalagi, sekitar Agustus lalu, Riau Pos mengeluarkan berita dari BMKG yang menyatakan musim kemarau akan terjadi sampai Oktober. Bahkan dinyatakan pula oleh pemerintah setempat akan melakukan penundaan masa tanam, menunggu musim hujan. Namun perkiraan itu, pada pertengahan Agustus terlihat sangat meleset. Pasalnya di pertengahan Agustus di Riau terjadi hujan besar-besaran dan terus menerus. Bahkan di Sumatera Barat, provinsi tetangga Riau yang menjadi hulu beberapa sungai besar di Riau mengalami banjir.
Pola cuaca yang sulit diprediksi itu, ternyata sangat berdampak besar bagi kegiatan pertanian. Petani akan makin kesulitan menentukan masa tanam. Tak hanya itu, kegiatan perikanan juga sangat terganggu. Misalnya, seorang petani ikan sekitar Jalan Singgalang, Kecamatan Tenayanraya. Dia harus mengalami kematian ikan secara massal. “Bapak yang menyewa kolam ini, berhenti menyewa Bu. Ikan-ikannya mati semua gara-gara hujan yang tiba-tiba kemarin. Kolam ikan seperti memutih,” tutur Iyet, dua pekan lalu, yang menjadi menunggu kolam-kolam Ikan milik Asmalini menerangkan bagaimana hujan yang tiba-tiba itu menghancurkan kegiatan perikanan.
Dengan kondisi ini, menurut Armi, memang sulit mencari jalan keluarnya. Oleh karena itu, menurutnya pemerintah daerah di manapun berada sekarang ini harus cepat tanggap. Memprediksi berbagai kemungkinan yang terjadi. Bahkan masyarakat harus mengembangkan kearifan lokal. “Bencana perubahan iklim ini ke depan akan semakin nyata, namun daerah banyak yang belum menyiapkan apa-apa,” ungkapnya khawatir.
Dari seluruh Indonesia, hanya beberapa daerah yang sudah mulai memikirkan dampak perubahan iklim. Salah satunya di Nusa Tenggara Barat. “Tahun 2007 lalu, saat saya ke sana, pemerintah daerah belum membuat kebijakan apa-apa. Namun sekarang tahun 2009, saat saya berkunjung ke sana, pemerintahnya sudah melakukan sejumlah persiapan. Kini mereka memiliki sejumlah embung (kolam-kolam air). Jadi begitu musim kemarau panjang, mereka tidak akan kesulitan air bersih. Sebaliknya pada musim hujan tinggi, mereka tidak kebanjiran,” papar Armi tentang kemungkinan dampak perubahan iklim yang paling rentan di Indonesia adalah tentang musim kemarau dan musim hujan yang bisa lebih panjang atau lebih singkat.
Armi juga menyebutkan antisipasi ini harus perlu dilakukan pemerintah selaku inisiator. Mengingat upaya adaptasi untuk menghadapi musim tidak menentu ini biayanya akan lebih murah dari pada menanggulangi bencana yang terjadi.
Lambannya respon daerah dalam melakukan adaptasi tampaknya juga terjadi di Provinsi Riau. Provinsi Riau baru bergerak pada kebijakan membuat Pusat Informasi Perubahan Iklim, sementara kebijakan pembangunan ke arah adaptasi belum terjadi.
“Pusat Informasi Perubahan Iklim, baru jalan awal tahun ini. Itupun baru mengumpulkan data-data dan masih dalam tahapan pengelolaan,” papar Ina tentang persiapan Pemerintah Provinsi Riau yang persiapannya dalam menghadapi perubahan iklim baru pada level mengumpulkan informasi dan belum pada kebijakan dan aksi nyata.***