Boleh percaya atau tidak. Pabrik pupuk kini berada di perut sapi.
Laporan Andi Noviriyanti, Kuansing
andinoviriyanti@riaupos.com
Rabu (24/6) pagi, di areal Peternakan Sapi PT Tri Bakti Sarimas (TBS). Sekitar 50 Km dari Kota Telukkuantan atau 210 Km dari Kota Pekanbaru. Ratusan ekor sapi yang berbadan gemuk dengan kulit mengkilat terlihat menikmati pakannya. Tetapi bukan rumput, seperti lazimnya dikonsumsi hewan herbivora ini. Sapi-sapi itu terlihat sedang mengunyah makanan yang bentuknya seperti dedak dan juga pelet berukuran sekitar 3-5 Cm.
Direktur TBS Gunawan berseloroh, “sapi di sini tidak lagi makan rumput, mereka makan humberger,” ujarnya tergelak memberi nama pakan sapi mereka sembari memperlihatkan pakan ternak sapi yang berwarna kehitaman, kering, penuh serat, dan tak berbau.
Menurut pria keturunan Tionghoa ini, sapi mereka memang beda dari sapi-sapi yang lain di Indonesia. Pasalnya perternakan sapi mereka tidak lagi memanfaatkan rumput sebagai pakan ternak. Sapi-sapi mereka yang berjumlah sekitar 700-an ekor itu memakan limbah pertanian dan limbah pabrik kelapa sawit (PKS) yang telah mereka olah.
Perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, kakao, kelapa hibrida, pinang, peternakan sapi dan lainnya ini memang beberapa tahun belakangan ini mencoba mengembangkan diri menjadi perusahaan yang zero waste (tanpa limbah). Itulah sebabnya limbah-limbah yang berasal dari perkebunan dan pabrik kelapa sawit mereka olah. Mulai dari bungkil kelapa, lumpur sawit, bungkil sawit, kulit kakao fermentasi, serbuk kakao, hingga fiber sawit mereka olah menjadi pakan ternak.
Perusahaan swasta nasional yang didirikan sejak tahun 1986 bahkan menyebutkan bahwa olahan limbah yang dimakan oleh sapi-sapi itu, bukan saja jadi pakan bagi sapi. Namun pencernaan (perut) sapi itu telah menjadi pabrik pembuatan pupuk organik. Pasalnya berbagai limbah yang ada di kawasan perkebunan itu diolah sapi-sapi itu di dalam perutnya. Dengan mekanisme pencernaannya dan sejumlah enzim di dalam perutnya lalu keluarlah kotoran sapi yang berasal dari limbah tadi. Lalu kotoran itu dijadikan salah satu bahan utama pupuk organik yang mereka produksi.
***
Perusahaan yang berkedudukan di Bukit Payung, Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi ini merupakan perusahaan swasta nasional yang melakukan perkebunan terpadu (integrated plantation). Memiliki kawasan perkebunan kakao monokultur seluas 2.028 Ha, kakao tumpang sari dengan kelapa 703,87 Ha, kelapa hibrida 1.422 Ha, kebun sawit HGU TBS 10.932,35 Ha, dan kebun sawit mitra 9.316 Ha (namun yang produktif hanya 7.600 Ha). Mereka juga memiliki peternakan sapi dengan jumlah 700-an ekor sapi dan juga perkebunan kakao yang tumpang sari dengan tanaman pinang serta pabrik kelapa sawit (PKS)
Sebagai kawasan perkebunan terpadu, peternakan dan juga memiliki PKS, perusahaan ini memiliki banyak sekali produk yang tidak terpakai atau limbah. Misalnya dari perkebun kelapa mereka memiliki limbah sabut kelapa. Pasalnya hanya isi kelapa yang mereka manfaatkan untuk dijadikan santan dan produksi minuman kelapa yang pabriknya berada di Sumatera Barat. Beberapa tahun lalu, sabut kelapa itu hanya menjadi limbah dan mereka harus membayar orang untuk membakar sabut kelapa tersebut. Namun kemudian dengan sebuah inovasi, perusahaan itu berhasil memanfaatkan sabut kelapa itu.
Dengan mesin ciptaan mereka, maka setiap sabut kelapa yang dihasilkan dari kupasan kelapa itu dimasukkan ke dalam mesin. Mesin itu kemudian menghacurkan sabut kelapa sehingga antara serat dan serbuknya terpisah. Serat mereka keringkan dan padatkan sehingga layak ekspor. Serat sabut kelapa itu kini sedang laku untuk pembuatan jok mobil mewah atau fiber dinding peredam suara. Sementara serbuknya mereka manfaatkan untuk alas di kandang sapi. Hal itu berimbas baik bagi sanitasi kandang sapi mereka yang menjadi kering, hangat dan bersih.
“Coba bandingkan dengan peternakan sapi lainnya. Di sini kandang sapinya tidak bau dan tidak dikerubungi lalat. Soalnya kandangnya bersih dan hangat. Urine dan kotoran sapi jatuh di atas serbuk. Kalau sudah basah, serbuknya kami ganti,” ujar Gunawan yang hari itu berkesempatan membawa Riau Pos dan juga Kepala BBKSDA Rahman Siddik berkeliling di areal perkebunan terpadu mereka.
Serbuk kelapa yang telah bercampur dengan kotorang dan urine sapi dibawa ke pabrik pembuatan pupuk organik yang hanya berjarak 50-100 meter dari peternakan sapi itu. Serbuk sabut kelapa itu kemudian dicampur lagi dengan tandan kosong sawit cacah, solid, fiber, kulit kakao giling, abu pembakaran dan air limbah PKS yang selama ini menjadi limbah di PKS dan perkebunan mereka. Untuk menyempurnakan pupuk organik mereka, berbagai bahan itu difermentasi dengan menambahkan koloni mikroba pengurai.
Dengan cara itu mereka tidak saja menyelesaikan soal limbah, tetapi juga mengatasi persoalan pupuk bagi lahan pertanian dan perkebunan mereka. Pupuk organik yang mereka hasilkan mencapai 3-4 ribu ton per bulan. Keberadaan pupuk organik itu telah menekan penggunaan pupuk kimia hingga 50 persen. Bahkan di tahun 2010 mereka punya target untuk menghasilkan 10 ribu ton per bulan. Dengan demikian mereka ke depan tidak perlu lagi memakai pupuk kimia dan menjualnya ke pasaran.
“Saat ini kami lebih berorientasi untuk pemenuhan kebutuhan perkebunan,” ujar Gunawan.
Itu sebabnya, kini sapi-sapi yang mereka pelihara tidak lagi diutamakan untuk penjualan. Namun lebih dijadikan sebagai pabrik pupuk organik. Menurut keterangan GM Farming Entreprise Fauzi Suherman dan Manager Kompos Ir Akmal, sapi-sapi mereka lebih dimanfaatkan untuk mengolah limbah yang telah mereka buat untuk menjadi pakan ternak untuk menjadi pupuk organik. Itu bisa dilihat dari rata-rata penjualan sapi mereka yang perbulan hanya 25 ekor.
***
Inovasi untuk memanfaatkan limbah dan memproduksi pupuk organik itu, ternyata menurut Gunawan dan Akmal bermula dari krisis global pada tahun 1997. Sebagai perusahaan perkebunan yang sangat membutuhkan banyak pupuk mereka kewalahan dengan harga pupuk yang terus melambung. Akhirnya terpikirlah untuk membuat pupuk sendiri. Dari hasil eksperimen di perkebunan mereka, akhirnya terciptalah pupuk yang berasal dari limbah di kawasan perkebunan itu. Dilengkapi dengan perut sapi, yang secara alami mampu mengubah limbah tersebut lebih lanjut untuk dijadikan bahan dasar pupuk organik. Sembari juga menyelesaikan persoalan pakan ternak mereka yang semakin hari kesulitan mencari rumput.
Pupuk dan pakan ternak yang mereka hasilkan itu kini telah memiliki nama dagang yakni TOC Organic Fertilizer dan Samco Pakan Ternak. Gunawan menyebutkan pupuk itu memiliki sejumlah keunggulan. Mulai dari mengandung unsur makro dan mikro lengkap, lebih efisien dan ekonomis, serta memperbaiki pH tanah dan kehidupan mikroba tanah. Sementara itu pakan ternak sapi mereka juga telah teruji membuat bobot sapi mereka meningkat dan aman.
“Kami telah mengujinya bertahun-tahun dan telah melihat hasilnya,” imbuh Gunawan dengan senyum mengambang.
Semoga perusahaan ini menjadi contoh bagi kawasan perkebunan dan pabrik kelapa sawit lainnya.***
0 komentar:
Posting Komentar