Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Kamis, 17 Juli 2008

Pemanasan Global Senyata Lelehan Coklat, Sedekat Flu Burung

Disuatu siang yang panas di dalam mobil. “Eh, aku punya coklat. Itu ada di laci,” ujarku kepada Wati, rekanku sesama wartawan yang satu mobil dengan ku. Watipun membuka laci dan mengambil batangan coklat itu. ”Ah enggak, coklatnya sudah meleleh. Lumer. Aku tak mau,” ujarnya sambil memperlihatkan cairan coklat yang merembes sampai keluar bungkusnya dan melemparkan kembali coklat cair itu kedalam laci mobil. ”Astaga Wat, jangan lempar lagi ke dalam laci?,” ujarku

Peristiwa sederhana itu menjadi contoh nyata tentang peristiwa pemanasan global yang mencairkan es di kutub utara. Susanto Kurniawan, aktivis lingkungan yang kini menjadi koordinator Jikalahari, menyebutkan analognya coklat yang mencair itu sama dengan es yang mencair. Kaca mobil sama dengan gas rumah kaca di atmosfir. Ruangan di dalam mobil sama dengan kehidupan di atas permukaan bumi.
“Peristiwanya begini. Sinar matahari masuk ke dalam mobil lewat kaca jendela. Sinar matahari yang mengantar panas itu hanya bisa masuk ke dalam mobil tetapi tidak bisa keluar. Akibatnya panas terperangkap dan meningkatkan suhu di dalam mobil. Itu sebabnya kita selalu merasakan panas di dalam mobil yang terpakir di tempat panas,” ujarnya.


Peristiwa itu, lanjutnya, sama halnya sinar matahari yang masuk ke bumi. Normalnya sinar matahari yang masuk ke bumi sebagian dipantulkan lagi keluar. Sayangnya karena gas rumah kaca yang ada diatmosfir kadarnya sudah berlebihan, sekitar 430 ppm (IPCC, 2007), maka sinar yang dipantulkan tadi tidak bisa keluar. Akhirnya panas terperangkap di atmosfir bumi dan memanaskan suhu secara global. Akibatnya es pun mencair di kutub termasuk di Gunung Jaya Wijaya.

Penjelasan sederhana tentang pemanasan global, menurut Garin Nugroho, sutradara film yang kini gencar mengkampanyekan pemanasan global melalui media televisi dan poster, seringkali luput dari perhatian mereka yang berbicara tentang pemanasan global. Akibatnya peristiwa pemanasan global dianggap peristiwa yang tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat.

. ”Walau sering kali kita mendengar tentang pemanasan global dan efek rumah kaca, tetapi banyak juga yang tidak mengerti makna sebenarnya. Banyak yang mengartikan pemasan global itu terjadi, karena sekarang rumah banyak pakai kaca. Untuk itu persoalan pemanasan global ini harus lebih disosialisasikan lagi termasuk di dunia televisi yang kini menjadi media yang paling banyak diminati,” ungkap Garin
Menurutnya selama ini persoalan pemanasan global hanya sering diceritakan tentang mencairan es di kutub utara. Padahal untuk masyarakat Indonesia itu tidak relevan. ”Perlu dicari contoh-contoh nyata yang lebih dekat dan dikenal oleh masyarakat,” tambahnya lagi.

Peristiwa banjir, angin puting beliung, dan kekeringan menjadi contoh nyata dari peristiwa pemanasan global di Indonesia. Contoh nyata lainnya yang juga kini diselidiki sangat ketat adalah peningkatan jumlah penyakit flu burung. Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika dan juga penerima Nobel Perdamaian tahun 2007, dalam film dokumenternya ”An Inconvenient Truth” menyebutkan flu burung adalah penyakit tropis yang perkembangannya dipicu oleh pemanasan global.

Pernyataan Al Gore diperkuat oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMG Prof Mezak A Ratag dan peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB) Agik Suprayogi kepada media. Mereka berdua, menyatakan pemanasan global mengakibatkan meningkatnya kasus flu burung. Itu terjadi karena peningkatan suhu udara mendorong peningkatan penguapan. Akibatnya kondisi udara lebih lembab dan virus pemicu penyakit flu burung sangat menyukai kondisi lembab dan dingin.
Fakta-fakta itu membuat peristiwa pemanasan global makin dekat dengan kehidupan manusia. Bahkan dr Chen Ik cen, seorang dokter kecantikan yang mendalami skin care, mengkhawatirkan kecantikan kulit wanita pun terancam akibat peningkatan suhu bumi.

Perang Melawan Pemanasan Global
”Siapkah kita kehilangan?. Ini adalah isu moral. Ini lebih hebat dari perang terhadap teroris! Dampaknya dari perbuatan kita saat ini dan pendahulu kita akan terjadi saat anak-anak kita seusia saya saat ini” ujar Al Gore dalam filmnya.
Pernyataan Al Gore dan sejumlah fakta tentang pemanasan global telah mendorong banyak pihak untuk menyatakan perang perang terhadap pemanasan global. Nila F Moloek, Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) Indonesia, salah satunya. Dia menyatakan kaum perempuan pun harus diberi tahu dengan ancaman ini. Menurutnya, perempuan memiliki kontribusi besar dalam keluarga untuk mengurangi emisi melalui kegiatan hemat energi. Baik dari pemakaian listrik, penggunaan bahan bakar untuk transportasi, maupun kegiatan lainnya yang memberi kontribusi dalam melepaskan gas rumah kaca, khususnya CO2.

“Kita bisa memulainya dari rumah. Bangun rumah di lahan perumahan. Jangan merusak hutan. Jangan mengubah lahan pertanian menjadi perumahan, pabrik maupun mal. Tingkatkan kualitas hidup. Kendalikan pertumbuhan penduduk dengan keluarga berencana. Kurangi hidup boros. Budayakan prinsip 3R, reduce, reuse, dan recycle. Efisienkan penggunaan transportasi. Kurangi CO2 dan selamatkan udara dengan menanam pohon. Hemat pemakaian energi dan banyak lagi yang bisa kita lakukan untuk memerangi ini,” ujar Nila.

Tak hanya itu, dengan semakin gencarnya topik pemanasan global berbagai kegiatan pengurangan pemanasan globalpun dilakukan. Tidak saja datang dari pemerintah tetapi juga dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dari pemerintah ada gerakan Indonesia menanam dan sebentar lagi Gerakan Penanaman Pohon Serentak yang dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota. Sejumlah LSM di Riau kini juga tengah memperjuangkan penyelamatan hutan gambut.

”Riau memiliki hutan gambut terluas di Sumatera. Luasnya mencapai 4,044 juta ha atau 56,1 % dari luas total lahan gambut di Sumatera. Hutan gambut memiliki kontribusi dua kali lipat dalam melepaskan karbon tetapi juga dua kali lipat menyimpan karbon. Kalau lahan gambut diselamatkan dari deforestasi, kebakaran, dan kekeringan maka kawasan itu akan mampu mengurangi emisi karbon yang menjadi penyebab utama pemanasan global,” ujarnya Susanto Kurniawan.

Namun upaya penyelamatan itu, menurutnya harus pula mendapat instensif dari negara-negara maju. “Harus ada kompensasi dari hutan gambut yang kita jaga. Itulah yang kini kita perjuangkan,” ungkap Susanto yang kini bersama rekan-rekannya di Jikalahari tengah mendorong penyelamatan Hutan Rawa Gambut Semenanjung Kampar (***)

0 komentar: