Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Minggu, 27 Juli 2008

Nelayan Sampah



Jika dulu para nelayan datang ke sungai untuk menjaring ikan, kini para nelayan datang ke sungai untuk menjaring sampah.


Naik sampan dan membawa tangguk ke Sungai Siak bukanlah pekerjaan baru bagi Amran (42). Sudah belasan tahun aktivitas itu dilakukan pria yang tinggal di bantaran Sungai Siak ini, tepatnya di Jalan Nelayan, Kecamatan Meranti Pandak, Kota Pekanbaru. Hanya saja kini Amran tidak lagi ke sungai untuk menjaring ikan, tetapi menjaring sampah.


Amran memang sudah beralih profesi. Jika dulu dia adalah seorang nelayan ikan, namun sekarang dia adalah nelayan sampah. Sejak itu pulalah kini tidak akan ditemukan lagi ikan hidup yang menggelepar-gelepar di bagian depan sampan Amran. Tempat ikan-ikan yang meloncat-loncat ingin kembali ke sungai itu posisinya digantikan makhluk kaku bernama sampah.

“Kalau menjaring ikan, sekarang belum tentu dapat uang. Rezekinya seperti rezeki harimau. Kadang dapat, kadang tak dapat sama sekali. Tetapi kalau menjaring sampah, pasti dapat uang,” ungkap Amran terkekeh saat ditanya lebih enak mana jadi nelayan ikan atau nelayan sampah.

Amran menjelaskan kalau dia menjaring sampah, dia pasti dapat bayaran dari Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Kota Pekanbaru. Jumlahnya sih memang tidak banyak, hanya Rp30 ribu. Namun bagi buruh harian lepas Operasional dan Pemeliharaan (OP) Pengembangan Sumber Daya Air (PSDA) Kimpraswil Kota Pekanbaru ini, jumlah itu lebih bisa menggaransi kehidupan istri dan dua anaknya.

Profesi baru menjadi nelayan sampah, tak hanya dilakoni Amran. Tetapi juga dua orang tetangganya, yakni M Yani (34) dan Ali Hamzah (26). Karena tinggal dalam satu RT, mereka bertiga ini selalu kompak pergi bekerja sebagai nelayan sampah di bawah Jembatan Leighton. Aktivitasnya dimulai di pagi hari, sekitar pukul tujuh atau delapan pagi dan berakhir sekitar pukul tiga atau empat sore.

Meski menjadi nelayan sampah hasilnya lebih pasti, namun menurut mereka sebenarnya tidak enak. Berurusan dengan sampah menurut mereka, bisa mengakibatkan perut mulas dan mau muntah. Apalagi ketika awal-awal harus bekerja, selera makan mereka bisa hilang dan tidak bisa makan seharian.

”Gimana mau makan, kalau ketemu sampah taik yang dibungkus plastik. Kami menyebutnya WC terbang. Kadang-kadang sering juga ketemu bangkai kucing dan anjing. Pokoknya macam-macamlah,” ungkap M Yani sambil tertawa kecil ingat kalau dulu dia baru bisa normal makan setelah tiga hari bekerja berturut-turut.

Namun, menurut Ali Hamzah, sampah taik dan bangkai tidak membuatnya terlalu jengkel. Dia lebih sebal lagi kalau harus ketemu sampah pembalut wanita yang terapung-rapung di atas air sungai. ”Sebentar lagi pasti banyak tuh,” ungkapnya dengan nada suara sedikit naik sembari menunjuk ke arah datangnya sampah dari Sungai Senapelan.

Di tengah-tengah perbincangan itu tiba-tiba dua buah kantong asoi, tampak datang dari arah hulu sungai Siak. Salah satu dari mereka pun dengan gesit menaiki sampannya dan mendekati sampah itu dan mengambilnya. Ternyata isinya adalah aneka bunga tujuh rupa. ”Wah, pasti ada yang buang sial nih,” celetuk mereka sembari tertawa.

Tidak lama setelah itu, sebuah bungkus kemasan makanan anak-anak seakan-akan datang dari langit. Setelah dilihat ke atas ternyata ada orang yang membuang sampah dari atas Jembatan Leighton. Kembali lagi salah satu mereka mengejar sampah itu. Namun seperti apapun mereka giat membersihkan sampah-sampah itu, sampah itu sepertinya tidak berhenti datang. Riau Pos sendiri pun sempat menyaksikan bagaimana dalam hitungan beberapa menit saja kawasan yang tadi mereka bersihkan kembali dipenuhi sampah.

Itulah sebabnya terkadang banyak yang menduga mereka tidak bekerja. Soalnya kalau mereka istirahat sebentar saja dan tim pengawas kota datang, mereka tidak bisa mengelak kalau di tempat mereka masih banyak sampah. Meskipun kenyataannya kecepatan sampah yang mereka punguti hampir sama dengan kecepatan sampah yang datang. Jika tidak percaya bahwa jumlah sampah ditempat itu begitu banyak, menurut mereka bisa di check saat jadwal pengangkutan sampah. Sampahnya setiap hari bisa mencapai satu truk.

Amran dan Yani juga menceritakan kalau sampah yang mereka dapati di badan sungai tidak saja berasal dari mereka yang tidak kelihatan membuang sampahnya. Tetapi juga berasal dari mereka yang membuang sampah di depan hidung mereka sendiri. ”Malah saya sempat ribut dengan para penjual jagung bakar di tepian Sungai Siak ini. Mereka langsung saja membuang sampah ke dalam sungai. Makanya keranjang sampah itu saya taruh disana. Agar mereka tidak lagi membuang sampah ke dalam sungai,” tunjuk Amran ke arah tong sampah rotan yang terletak di bantaran bagian bawah Sungai Siak.

Tentang rendahnya kesadaran masyarakat membuang sampah itu juga dikemukakan M Yani. Sambil mengulum senyum dia menunjuk ke arah papan pengumuman dilarang membuang sampah yang ada di pinggiran sungai itu. ”Di papan pengumuman itu, malah paling banyak sampah dibuang,” ujarnya terkekeh.
***

Membersihkan sungai dari sampah memang tengah giat dilakukan Dinas Kimpraswil Kota Pekanbaru, khususnya seksi OP PSDA. Pasalnya kebersihan sungai menjadi salah satu indikator kebersihan Kota Pekanbaru yang telah tiga tahun berturut-turut ini jadi kota besar terbersih se Indonesia. Untuk mempertahankan prestasi itu, Kimpraswil Kota bersama dinas terkait lainnya yang ditugaskan membersihkan Kota Pekanbaru bergiat menjaga kebersihan kota sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) mereka masing-masing.

Di OP PSDA sendiri, inisiatif yang dilakukan adalah membentuk para mantan nelayan ikan jadi nelayan sampah. ”Kita sengaja memilih mereka, para penduduk di sekitar sini yang memiliki sampan untuk membersihkan sungai. Soalnya mereka yang paling mengerti areal mereka. Apalagi Sungai Siak kan terkenal cukup angker. Kalau mereka yang terbiasa naik sampan disini, pasti lebih aman,” ungkap Syamsir Alam, Kasi OP PSDA Kimpraswil Kota Pekanbaru yang sejak tahun 2005 lalu memperkenalkan profesi baru bagi masyarakat tepian Sungai Siak dari nelayan ikan ke nelayan sampah.

Sebenarnya tidak banyak nelayan sampah yang dibentuk Syamsir Alam. Hanya tiga orang untuk di bawah Jembatan Leighton dan lima orang di sekitar Pelabuhan Sungai Duku. Pasalnya hanya lokasi itu yang memungkinkan dibersihkan oleh para nelayan sampah dan juga karena alasan hanya itulah yang menjadi kewenangan Kimpraswil Kota Pekanbaru.

Sementara itu untuk bagian sungai lain yang dangkal atau tidak memungkinkan bersampan, mereka membentuk tim renang sampah. Tugas para tim renang ini adalah memunguti sampah di dalam sungai dengan baju pelampung. Tim renang ini bisa ditemui di muara Sungai Sago, muara Sungai Limau dan Sungai Siak dekat Pelabuhan Pelita Pantai

”Kalau di Pelita Pantai, kita tidak bisa menggunakan para nelayan sampah ini. Karena sampah utama disana adalah eceng gondok. Karena air Sungai Siak itu airnya berputar maka eceng gondok itu biasanya mengumpul. Seperti membentuk pulau dan orang bisa berdiri di atasnya. Kalau pakai sampan maka tidak bisa diangkat. Jadi tenaga OP harus berenang. Kadang-kadang tiga orang bergabung mendorong eceng gondok itu ke tepian sungai. Barulah diangkat ke daratan,” ungkap Syamsir.

Untuk membersihkan sungai dan saluran primer di Kota Pekanbaru, Syamsir Alam dibantu oleh 150 orang petugas OP. Petugas itulah yang setiap hari bekerja membersihkan sungai-sungai yang membelah Kota Pekanbaru.

Meskipun mereka telah bekerja rutin, membersihkan sungai-sungai itu, menurut Syamsir tidak akan pernah bisa membersihkan sungai-sungai yang ada. ”Misalnya sampah di Sungai Siak ini. Kalau di daerah hulunya di Tapung Kampar itu tidak diantisipasi sampah eceng gondoknya, maka pasti di Pekanbaru selalu ada sampah. Kami juga tidak bisa bekerja sendiri, kalau Dinas Kimpraswil Provinsi Riau yang bertanggungjawab di wilayah sungai provinsi tidak melakukan hal yang sama,” ujarnya.

Dia juga menyinggung kesuksesan pekerjaan itu juga memerlukan dukungan masyarakat. Beberapa waktu lalu, menurutnya, dia telah menyebar selebaran agar masyarakat tidak membuang sampah ke sungai. Sejak itulah jumlah sampah yang dibuang langsung ke sungai sudah mulai berkurang hingga 50 persen. Ke depan dia berharap partisipasi masyarakat untuk menjaga lingkungan kian besar.***

0 komentar: