Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Kamis, 11 Februari 2010

Pertanian Skala Kecil, Dinginkan Bumi

Hati-hati dengan Industri Pertanian


Masyarakat dunia saat ini berlomba-lomba menjadi negeri industri pertanian. Didorong tak saja oleh pasar bebas, transportasi yang lancar, tetapi juga paradigma mengganti bahan bakar fosil dengan agroguel (bahan bakar nabati) seperti biodisel. Jika itu dibiarkan terus merajalela, bahan bakar dari industri pertanian itu tak saja jadi bahan bakar pengganti fosil, tetapi juga jadi bahan bakar untuk kelaparan dan kemiskinan.


Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Itulah yang kini sedang dirisaukan oleh Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI). Lelaki yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai 50 orang di dunia yang menyelamatkan bumi dari Harian Guardian, sebuah harian termuka di Inggris, mengungkapkan agroindustri tak saja akan menjadi bahan bakar bagi kelaparan dan kemiskinan, tetapi sekaligus juga menjadi pengkontribusi dari emisi karbon yang menyebabkan perubahan iklim.

Industri pertanian yang dimaksud adalah pertanian dan perkebunan skala besar serta usaha peternakan yang membutuhkan lahan yang sangat luas. Sehingga menggeser lahan pertanian masyarakat skala kecil yang dulu banyak ditemukan di wilayah agraris seperti di Indonesia dan negara-negara agraris lainnya.

Pria berkumis ini, kepada Riau Pos, beberapa waktu lalu, menyebutkan kontribusi emisi karbon dari industri pertanian di mulai dari sektor transportasi yang mengantar bahan makanan itu ke berbagai belahan dunia. Misalnya, saat ini sangat mudah menemukan buah-buahan, sayur-sayuran, dan danging dari Afrika, Amerika Selatan atau negara-negara kepualaun di Eropa atau Amerika. Kita juga tak lagi kesulitan menemukan beras dari Asia di Amerika atau Afrika.

Nah, dari bahan bakar transportasi antar benua itulah yang menyebabkan emisi karbon menjadi cukup besar. Organisasi petani di Swiss bernama UNITERRE mengkalkulasikan bahwa untuk mengangkut satu kilo asparagus impor dari Mekiko membutuhkan lima liter minyak dengan membawanya dengan pesawat (11.800 km) ke Switzerland. Padahal jika itu ditanam di Switzerland, hanya dibutuhkan 0,3 liter minyak untuk sampai kepada konsumen.

Belum lagi dampak dari moderenisasi industri pertanian yang dalam proses pertaniannya banyak menggunakan bahan kimia seperti untuk pupuk dan pestisida. Selain itu, pertanian monokultur dan peternakan banyak menghasilkan nitrogen dioksia (NO2), yakni senyawa nomor tiga terpenting dalam memberi kontribusi pada pemanasan global.

Persoalan lainnya dari dampak industri pertanian adalah memusnahkan biodiversity (keanekaragaman hayati) dan sekaligus menghilangkan kemampuannya untuk menangkap karbon (salah satu emisi gas rumah kaca). Padahal, tambahnya, secara natural karbon ditangkap dari udara oleh tumbuh-tumbuhan dan disimpan dalam batang kayu dan bahan-bahan organik di dalam tanah. Siklus karbon ini telah menjadi bagian dari keseimbangan iklim selama jutaan tahun.

Namun, dengan adanya industri pertanian membuat keseimbangan itu terganggu. Pasalnya untuk membangun industri pertanian mereka tidak saja menggunakan banyak pestisida dan pupuk kimia, tetapi juga membakar hutan dan lahan untuk menyiapkan pertanian monokultur.

Belum lagi, industri pertanian juga mendorong areal pertanian menjadi areal produksi pertanian. Misalnya menjadi komplesk industri, perumahan, dan kawasan wisata pertanian. Hal itu juga memberi kontribusi pada pelepasan emisi karbon secara masif.
Pria yang menjadi Koordinator Umum International Operational Secretariat (IOS) of La Via Campesina, sebuah organisasi pergerakan petani dunia ini, juga mengkritisi bahan bakar nabati. Dia menyebut itu sebagai solusi yang salah dalam menghadapi krisis energi dan mengurangi emisi karbon sesuai dengan mandat Protokol Kyoto. Pasalnya untuk produksi bahan bakar nabati tersebut lagi-lagi kembali mendorong industri pertanian yang akhirnya mengekspansi lahan pertanian.

Hendry menyebutkan industri pertanian, menurutnya, yang dikelola corporate itu menyebabkan semakin sedikit akses petani terhadap lahan. Alhasil tidak saja menimbulkan kesenjangan yang memicu konflik masyarakat dan perusahaan tetapi juga mendorong masyarakat menghadapi persoalan kelaparan dan kemiskinan. “Industri bahan bakar nabati, sekaligus menjadi bahan bakar kelaparan dan kemiskinan,” ungkapnya.

Oleh karena itu, dia menyuarakan kedaulatan pangan sebagai kunci menyediakan matapencarian untuk miliaran orang dan upaya menyelamatkan bumi. Menurutnya kedaulatan pangan memprioritaskan pasar lokal dan nasional, memberdayakan petani dan keluarga petani dalam mengendalikan pertanian, dan menjaga produksi pangan. Selanjutnya kedaulan pangan juga mendistribusikan dan mengkonsumsi pangan berlandaskan keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan sosial.***



0 komentar: