This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Senin, 28 September 2009

Hadiah di Hari Ulang Tahun Ozon Sedunia

Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal Pesatuan Bangsa-bangsa (PBB) pernah memuji Protokol Montreal sebagai satu-satunya perjanjian internasional yang paling sukses.


n Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Pada 16 September lalu, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Protokol Montreal yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ozon Sedunia, Perdana Menteri Timor-Leste Xaxana Gusmao, mengumumkan meratifikasi Protokol Montreal. Keputusan negara termuda di Pacifik itu untuk meratifikasi Protokol Montreal, membuat perjanjian internasional itu menjadi kesepakatan lingkungan pertama yang diterima di seluruh dunia yakni diikuti oleh keseluruhan anggota PBB yang berjumlah 196 negara. Timor Leste menjadi negara ke 196 itu.

Ikut sertanya negara yang pernah bergabung dengan Indonesia itu, sekaligus menyempurnakan pernyataan mantan Sekjen PBB Kofi Annan, sekitar tahun 2003 lalu. Dia menyebutkan bahwa Protokol Montreal adalah satu-satunya perjanjian internasional yang paling sukses. Mengingat perjanjian yang ditandatangani di Montreal ini, diadopsi luas dan diratifikasi banyak negara.



Dalam siaran pers yang disebarluaskan oleh United Nations Environment Program (UNEP), Gusmao menyatakan negaranya sangat senang bisa bergabung dengan negara-negara di seluruh dunia untuk melawan penipisan lapisan ozon dan berusaha untuk memperbaiki lapisan ozon yang telah rusak tersebut.

“Kami bangga menjadi bagian proses penting untuk menjaga lapisan ozon dan melakukan implementasi dan mematuhi Protokol Montreal seperti negara-negara lainnya yang telah lebih dulu dalam perjalanan penting ini,” ujar Gusmao, 16 September 2009.
Protokol Montreal adalah penjabaran tentang pelaksanaan konvensi perlindungan lapisan ozon yang memuat secara rinci langkah-langkah yang perlu diambil oleh negara pihak dalam pengawasan produksi dan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO). Protokol ini menetapkan ada sekitar 100 bahan kimia yang berhubungan dengan kerusakan lapisan ozon.

Dalam catatan sejarahnya, Protokol Montreal merupakan tindak lanjut dari Konvensi Wina, Australia, pada tahun 1985, yakni pertemuan internasional pertama yang membahas tentang penipisan lapisan ozon. Penelitian tentang penipisan ozon dimulai dari penelitian Kimiawan Frank Sherwood Rowland dan Mario Molina pada University of California, Irvine, pada tahun 1973 yang meneliti dampak CFC di atmosfer bumi. Mereka menemukan bahwa molekul CFC cukup stabil untuk tetap berada di atmosfer sampai ke tengah stratosfer. Selanjutnya CFC (setelah rata-rata 50-100 tahun untuk dua jenis CFC) akan diuraikan oleh radiasi ultraviolet menjadi atom Clorin. Rowland dan Molina kemudian mengusulkan bahwa atom clorin ini kemungkinan menjadi penyebab kerusakan dalam jumlah besar ozon (O3) di stratosfer.

Konsekuensi dari penemuan ini adalah bahwa karena ozon di stratosfer menyerap sebagian besar radiasi ultraviolet-B (UV-B) yang akan mencapai permukaan bumi, maka penipisan lapisan ozon oleh CFC akan mengarah pada peningkatan radiasi UV-B menuju permukaan bumi, yang mengakibatkan peningkatan dalam kanker kulit dan dampak lain seperti kerusakan pada tanaman dan fitoplankton laut.

Pada bulan Juni 1974, Rowland dan Molina bersaksi di hadapan sidang Dewan Perwakilan Rakyat AS pada Desember 1974 tentang analisa penelitiannya tersebut. Setelah kesaksian Rowland dan Molina di DPR Amerika Serikat ini, disediakan dana besar untuk mempelajari berbagai aspek dari masalah dan untuk mengkonfirmasi temuan awal. Pada tahun 1976 National Academy of Sciences (NAS) Amerika Serikat  merilis sebuah laporan yang menyatakan kredibilitas ilmiah penipisan ozon hipotesis. NAS terus menerbitkan penilaian dari ilmu yang bersangkutan untuk dekade berikutnya.
Kemudian, pada tahun 1985, ilmuwan British Antartic Survey Farman, Shanklin dan Gardiner mengejutkan komunitas ilmiah ketika mereka menerbitkan hasil kajian yang menunjukkan lubang ozon dalam jurnal Nature - yang menunjukkan penurunan ozon di kutub jauh lebih besar daripada yang diantisipasi.

Itu yang mendasari 20 negara, yaitu pada tahun 1985, termasuk sebagian besar produsen CFC utama, menandatangani Konvensi Wina, yang menetapkan kerangka kerja bagi negosiasi internasional ozon - peraturan tentang zat penipis ozon. Diikuti dengan penandatanganai Protokol Montreal.

Mesipun Protokol Montreal ditandatangani 16 September 1987, namun baru berlaku pada 1 Januari 1989 yang diikuti dengan pertemuan di Helsinki, Mei 1989. Sejak pertemuan di Helsinki, Protokol Montreal telah mengalami tujuh kali revisi. Yaitu pada tahun 1990 di London, Inggris, tahun 1991 di Nairobi, tahun 1992 di Kopenhagen, tahun 1993 di Bangkok, tahun 1995 di Wienwina, tahun 1997 di Montreal, dan tahun 1999 di Beijing.

Achim Steiner, Eksekutif Direktor dari UNEP menyatakan keterlibatan Timor Leste telah membuat Peringatan Hari Lapisan Ozon tahun ini menjadi sangat spesial dan menjadi hadiah khusus. Sekaligus menjadi tanda bagaimana seluruh dunia bersatu dalam menghadapi tangangan lingkungan.

Achim menuturkan tanpa Protokol Montreal dan Konvensi Wina, penipisan lapisan ozon akan mencapai sepuluh kali lipat pada tahun 2050. “Pada gilirannya bisa jadi menyebabkan 20 juta lebih kasus kanker kulit dan 130 juta lebih kasus penyakit katarak mata, dan jangan sebut apa yang terjadi dengan sistem kekebalan manusia, satwa liar dan pertanian,” ujarnya.***

Kamis, 10 September 2009

Pohon Kehidupan Itu Diambil Pergi

”Siapa yang Tak Malu, Kecewa dan Sedih?”


Kalpataru memiliki makna pohon kehidupan. Itu sebabnya namanya dilekatkan sebagai nama penghargaan lingkungan paling prestesius di Indonesia. Diberikan langsung oleh Presiden Indonesia dan dilaksanakan di Istana Negara pada Hari Lingkungan Hidup sedunia tiap tanggal 5 Juni.

Laporan ANDI NOVIRIYANTI, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Rabu (2/9) siang, sekitar pukul 12.30 WIB, lima orang pria dan seorang wanita datang berkunjung ke kantor Riau Pos, di Jalan Subrantas. Rombongan itu mengaku masyarakat dari Desa Buluhcina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar.

Masing-masing memperkenalkan diri dengan nama Edi Effendi, Ali Amran, Lidya Hastuty, Azrianto, dan Sadikin. Sementara satu orang lagi tidak sempat memperkenalkan diri. Edi Effendi mengaku sebagi Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Buluhcina, sementara Ali Amran, Lidya Hastuty mengaku anggota BPD, dan tiga orang lainnya mengaku sebagai tokoh pemuda masyarakat Buluhcina.

Keenam orang ini, menyampaikan rasa risaunya dan sekitar 232 masyarakat Buluhcina yang menandatangani surat pernyataan. Mereka tidak terima dengan perkataan sejumlah pihak di pemberitaan media massa yang menyatakan masyarakat Buluhcina tak berkomitmen menjaga hutan mereka. Apalagi pernyataan bahwa masyarakat Buluhcina bersepakat membelah hutan wisata provinsi yang menjadi titik awal alasan dicabutnya penghargaan Kalpataru yang diterima masyarakat adat desa berpenduduk 1.500 jiwa dengan luasan enam kilometer persegi ini.

“Itu hanya dilakukan oleh beberapa oknum ninik mamak, bukan keseluruhan dari kami,” ujar Edi Effendi yang juga diamini oleh rekan-rekannya yang lain.
Hari itu suasana hati Edi dan kawan-kawan dan memang tengah terusik. Pasalnya hari itu, mereka membaca berita di Harian Riau Pos bahwa penghargaan Kalpataru bagi desa mereka dicabut. Apalagi, hari itu juga, hanya beberapa meter di depan Kantor Riau Pos, pada pagi harinya sekitar pukul 10.00 WIB, tepatnya di Kantor Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera, Ninik Mamak Negeri Enam Tanjung Dahlan Datuk Mojolelo perwakilan desa mereka resmi mengembalikan penghargaan Kalpataru tersebut.

Padahal penghargaan lingkungan tertinggi di Indonesia dan berskala nasional serta diserahkan langsung oleh Presiden Indonesia itu baru Juni lalu diterima. “Siapa yang tak malu, sedih dan kecewa. Ini bukan hanya malu kami, tetapi malu Provinsi Riau. Kami tidak setuju penghargaan itu dicabut, itu harga diri masyarakat. Apalagi ini pertama kali dalam sejarah Indonesia,” ungkap Ali Amran yang juga mantan Kepala Desa Buluhcina, periode 1994-2001 prihatin.

Dicabutnya penghargaan itu, oleh KLH, tersebab Ninik Mamak Enam Tanjung yang dipimpin Dahlan Datuk Majolelo membelah kawasan hutan wisata yang menjadi dasar penghargaan tersebut diberikan. Alasan Datuk Dahlan untuk membuka jalan itu untuk membuka keterisoliran, setelah diselidiki dianggap dianggap mengada-ada oleh KLH, karena jalan yang dibuka terlalu lebar dan tidak betul ditemukan ada desa yang terisolir yang sangat membutuhkan jalan tersebut.

Apalagi, kemudian diketahui pada saat pengusulan Kalpataru, Ninik Mamak ini menyembunyikan fakta penting, yakni rencana membelah hutan wisata tersebut untuk membuka jalan yang tergolong sangat luas karena lebar 15-20 meter.

Ali Amran, menuturkan, sejak awal hutan wisata itu dibelah, mereka sudah protes. Apalagi masyarakat telah menyadari arti penting keberadaan hutan wisata yang dilengkapi dengan tujuh danau tersebut. Hutan wisata yang menyimpan berbagai kekayaan pohon-pohon raksasa berumur ratusan tahun itu, katanya, telah diberikan kepada Gubernur Riau untuk dijadikan Hutan Wisata Provinsi seluas 1.000 hektare, yang dikukuhkan dalam SK Gubernur tahun 2006.

Itulah sebabnya kawasan itu menjadi sangat layak untuk mendapatkan penghargaan di tingkat nasional. Namun karena kelakuan oknum ninik mamak mereka, yang membelah kawasan hutan itu, akhirnya penghargaan Kalpataru yang bermakna pohon kehidupan itu diambil pergi hari itu.

Sejak awal, saat mengetahui pembukaan jalan tersebut, Ali Amran menuturkan dia dan rekannya di BPD dan masyarakat lainnya telah menentangnya. Namun mereka mengaku tidak berdaya dengan kekuatan para ninik mamak yang memiliki berbagai sumber daya finansial. Tapi mereka tidak hanya lepas tangan, mereka bahkan telah membuat surat pernyataan dan melaporkan hal itu yang ditandatangani oleh lima dari tujuh anggota BPD dan 232 masyarakat desa Buluhcina ke instansi terkait, termasuk pemerintah kabupaten dan provinsi. Tetapi laporan mereka itu tidak segera direspon pihak-pihak terkait, hingga hutan terlanjur dibuka dan penghargaan Kalpataru hari itu di bawah kembali oleh utusan KLH ke Jakarta.

Tak hanya bagian masyarakat Buluhcina tersebut yang menyampaikan rasa sedih dan kecewa dengan dicabutnya penghargaan tersebut kepada Riau Pos. Penerima Kalpataru 2007 dari Riau Erni Suarti juga mengungkapkan rasa sedihnya. Lewat pesan pendek melalui telepon selulernya, dia mengirimkan pesan Kamis (4/9) pagi usai membaca pemberitaan di media massa tentang dicabutnya penghargaan itu.

“Maafkan kami atas aksi orang-orang yang belum memahami arti Kalpataru yang sebenarnya. Saya sedih penarikan penghargaan Kalpataru untuk pertama kali dari tahun 1980-2009 terjadi di Indonesia khususnya di Provinsi Riau. Doa saya semoga hal ini tidak akan pernah terjadi lagi di pelosok manapun. Amin,” tulisnya.***