Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Kamis, 10 September 2009

Pohon Kehidupan Itu Diambil Pergi

”Siapa yang Tak Malu, Kecewa dan Sedih?”


Kalpataru memiliki makna pohon kehidupan. Itu sebabnya namanya dilekatkan sebagai nama penghargaan lingkungan paling prestesius di Indonesia. Diberikan langsung oleh Presiden Indonesia dan dilaksanakan di Istana Negara pada Hari Lingkungan Hidup sedunia tiap tanggal 5 Juni.

Laporan ANDI NOVIRIYANTI, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com

Rabu (2/9) siang, sekitar pukul 12.30 WIB, lima orang pria dan seorang wanita datang berkunjung ke kantor Riau Pos, di Jalan Subrantas. Rombongan itu mengaku masyarakat dari Desa Buluhcina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar.

Masing-masing memperkenalkan diri dengan nama Edi Effendi, Ali Amran, Lidya Hastuty, Azrianto, dan Sadikin. Sementara satu orang lagi tidak sempat memperkenalkan diri. Edi Effendi mengaku sebagi Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Buluhcina, sementara Ali Amran, Lidya Hastuty mengaku anggota BPD, dan tiga orang lainnya mengaku sebagai tokoh pemuda masyarakat Buluhcina.

Keenam orang ini, menyampaikan rasa risaunya dan sekitar 232 masyarakat Buluhcina yang menandatangani surat pernyataan. Mereka tidak terima dengan perkataan sejumlah pihak di pemberitaan media massa yang menyatakan masyarakat Buluhcina tak berkomitmen menjaga hutan mereka. Apalagi pernyataan bahwa masyarakat Buluhcina bersepakat membelah hutan wisata provinsi yang menjadi titik awal alasan dicabutnya penghargaan Kalpataru yang diterima masyarakat adat desa berpenduduk 1.500 jiwa dengan luasan enam kilometer persegi ini.

“Itu hanya dilakukan oleh beberapa oknum ninik mamak, bukan keseluruhan dari kami,” ujar Edi Effendi yang juga diamini oleh rekan-rekannya yang lain.
Hari itu suasana hati Edi dan kawan-kawan dan memang tengah terusik. Pasalnya hari itu, mereka membaca berita di Harian Riau Pos bahwa penghargaan Kalpataru bagi desa mereka dicabut. Apalagi, hari itu juga, hanya beberapa meter di depan Kantor Riau Pos, pada pagi harinya sekitar pukul 10.00 WIB, tepatnya di Kantor Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Sumatera, Ninik Mamak Negeri Enam Tanjung Dahlan Datuk Mojolelo perwakilan desa mereka resmi mengembalikan penghargaan Kalpataru tersebut.

Padahal penghargaan lingkungan tertinggi di Indonesia dan berskala nasional serta diserahkan langsung oleh Presiden Indonesia itu baru Juni lalu diterima. “Siapa yang tak malu, sedih dan kecewa. Ini bukan hanya malu kami, tetapi malu Provinsi Riau. Kami tidak setuju penghargaan itu dicabut, itu harga diri masyarakat. Apalagi ini pertama kali dalam sejarah Indonesia,” ungkap Ali Amran yang juga mantan Kepala Desa Buluhcina, periode 1994-2001 prihatin.

Dicabutnya penghargaan itu, oleh KLH, tersebab Ninik Mamak Enam Tanjung yang dipimpin Dahlan Datuk Majolelo membelah kawasan hutan wisata yang menjadi dasar penghargaan tersebut diberikan. Alasan Datuk Dahlan untuk membuka jalan itu untuk membuka keterisoliran, setelah diselidiki dianggap dianggap mengada-ada oleh KLH, karena jalan yang dibuka terlalu lebar dan tidak betul ditemukan ada desa yang terisolir yang sangat membutuhkan jalan tersebut.

Apalagi, kemudian diketahui pada saat pengusulan Kalpataru, Ninik Mamak ini menyembunyikan fakta penting, yakni rencana membelah hutan wisata tersebut untuk membuka jalan yang tergolong sangat luas karena lebar 15-20 meter.

Ali Amran, menuturkan, sejak awal hutan wisata itu dibelah, mereka sudah protes. Apalagi masyarakat telah menyadari arti penting keberadaan hutan wisata yang dilengkapi dengan tujuh danau tersebut. Hutan wisata yang menyimpan berbagai kekayaan pohon-pohon raksasa berumur ratusan tahun itu, katanya, telah diberikan kepada Gubernur Riau untuk dijadikan Hutan Wisata Provinsi seluas 1.000 hektare, yang dikukuhkan dalam SK Gubernur tahun 2006.

Itulah sebabnya kawasan itu menjadi sangat layak untuk mendapatkan penghargaan di tingkat nasional. Namun karena kelakuan oknum ninik mamak mereka, yang membelah kawasan hutan itu, akhirnya penghargaan Kalpataru yang bermakna pohon kehidupan itu diambil pergi hari itu.

Sejak awal, saat mengetahui pembukaan jalan tersebut, Ali Amran menuturkan dia dan rekannya di BPD dan masyarakat lainnya telah menentangnya. Namun mereka mengaku tidak berdaya dengan kekuatan para ninik mamak yang memiliki berbagai sumber daya finansial. Tapi mereka tidak hanya lepas tangan, mereka bahkan telah membuat surat pernyataan dan melaporkan hal itu yang ditandatangani oleh lima dari tujuh anggota BPD dan 232 masyarakat desa Buluhcina ke instansi terkait, termasuk pemerintah kabupaten dan provinsi. Tetapi laporan mereka itu tidak segera direspon pihak-pihak terkait, hingga hutan terlanjur dibuka dan penghargaan Kalpataru hari itu di bawah kembali oleh utusan KLH ke Jakarta.

Tak hanya bagian masyarakat Buluhcina tersebut yang menyampaikan rasa sedih dan kecewa dengan dicabutnya penghargaan tersebut kepada Riau Pos. Penerima Kalpataru 2007 dari Riau Erni Suarti juga mengungkapkan rasa sedihnya. Lewat pesan pendek melalui telepon selulernya, dia mengirimkan pesan Kamis (4/9) pagi usai membaca pemberitaan di media massa tentang dicabutnya penghargaan itu.

“Maafkan kami atas aksi orang-orang yang belum memahami arti Kalpataru yang sebenarnya. Saya sedih penarikan penghargaan Kalpataru untuk pertama kali dari tahun 1980-2009 terjadi di Indonesia khususnya di Provinsi Riau. Doa saya semoga hal ini tidak akan pernah terjadi lagi di pelosok manapun. Amin,” tulisnya.***

0 komentar: