Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Kamis, 01 Oktober 2009

Beradaptasi dengan Puting Beliung

Angin puting beliung diperkirakan akan terus melanda Riau sebagai dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim. Ahli meteorologi menyatakan bencana itu sulit sekali untuk diantisipasi atau dihindari, untuk itu yang bisa dilakukan masyarakat sekarang adalah berusaha menurunkan suhu bumi sembari beradaptasi dengan angin ribut yang bisa merobohkan rumah itu. Caranya dimulai dengan memperbanyak menanam pohon, mengenali ciri-cirinya, membangun rumah permanen dan menghindari penggunaan atap seng.


Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.com

Suatu hari di jalan baru KM 55 Simpang Kualo, Kabupaten Pelalawan, Adi (32) melihat pusaran angin dari arah Komplek Kantor Bupati Pelalawan yang tepat berada di seberang jalan tempat mobilnya yang tengah melaju. Adi melihat pusaran angin itu dengan jelas, karena tanah kuning dan sampah-sampah yang dilewati angin itu seperti terangkat dan berputar. Tingginya sekitar tiga meter membentuk cerobong. Persis seperti angin yang dilihatnya di film-film yang menceritakan tornado di Amerika Serikat. Hanya saja ukuran angin itu jauh lebih kecil dari gambaran angin di film yang pernah ditontonnya.


Pemandangan tentang angin yang berputar itu atau sering disebut dengan puting beliung itu tampaknya akan menjadi pemandangan lumrah bagi masyarakat Riau. Setidaknya dalam beberapa bulan terakhir ini, angin puting beliung itu terjadi di lima kabupaten/kota di Riau, yakni Pekanbaru, Kampar, Pelalawan, Kuntan Singingi, Indragiri Hilir. Bencana itu tidak saja memberi rasa takut atau merobohkan rumah warga, namun juga telah menelan korban jiwa di Kampar.
Itu berarti Riau tengah menghadapi musim bencana baru, setelah sebelumnya rutinitas bencana banjir dan asap, kini rutinitas bencananya bertambah satu bernama angin puting beliung. Apalagi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menyatakan Riau dan beberapa daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa menjadi daerah rawan angin puting beliung.
Angin puting beliung pada dasarnya adalah angin tornado yang umum terjadi di Amerika. Hanya saja, tornado yang kini kerap terjadi di Indonesia merupakan angin tornado golongan lemah. Kecepatan anginnya hanya berkesar kurang dari 73 Miles Per Hours (MPH) dan maksimal 112 MPH. Meskipun tergolong lemah namun kerusakan yang ditimbulkan cukup lumayan. Misalnya untuk yang kecepatan angin yang kurang dari 73 MPH kerusakan yang timbul berupa kerusakan cerobong asap, dahan pohon patah, pohon-pohon berakar dangkal terdorong dan papan penunjuk rusak. Sementara yang diatas 73 MPH hingga 112 MPH, kerusakan yang ditimbulkan berupa atap rumah berhamburan dan rumah semi permanen bergeser.
Pada dasarnya menurut Darwin Harahap, Kasi Observasi dan Informasi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kota Pekanbaru, angin puting beliung bukanlah hal baru. Hanya saja, angin yang juga dikenal dengan nama angin puyuh, angin ribut, dan angin leysus itu kini intensistasnya lebih tinggi. Bahkan jaraknya, menurut staff BMG yang telah bekerja selama 27 tahun ini, makin dekat antara satu tempat dengan tempat lainnya. Hal itu, katanya, terkait dengan pemanasan global dan perubahan iklim yang membuat cuaca dan iklim kini tidak lagi menentu.
Armi Susandi, pakar metereologi Indonesia, menyebutkan angin puting beliung biasanya terjadi saat peralihan musim. Angin puting beliung berasal dari awan tebal bergulung-gulung yang biasanya disebut awan comulusnimbus. Karena awan terbentuk dari uap air yang timbul karena panas, maka tidak aneh bila Riau yang kini mengalami pengundulan hutan besar-besaran menjadi tempat angin puting beliung berputar-putar.
Menurut Armi, bencana itu kedepan jumlahnya akan makin meningkat. Untuk itu, masyarakat Riau maupun masyarakat lainnya harus mulai melakukan langkah-langkah mengurangi panas bumi dan melakukan upaya adaptasi.
Langkah itu dapat dimulai dengan mengaktifkan kegiatan penanaman pohon. Mengingat pohon memiliki kemampuan menurunkan iklim mikro bahkan iklim global. Selanjutnya untuk upaya adaptasi maka perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar membuat rumah permanen yaitu yang terbuat dari batu. Termasuk juga mengganti atap rumah yang terbuat dari seng dengan genteng. Itu dilakukan agar gaya gesek yang ditimbulkan lebih kuat sehingga atap tidak terbang dan rumah roboh.
Namun untuk itu, Armi mengaku memang bukan hal yang gampang mengajak masyarakat melakukan perubahan membuat rumah permanen. Untuk itulah diperlukan peranan pemerintah agar membantu masyarakatnya yang tinggal di kawasan rawan angin puting beliung tersebut.
Selanjutnya pemerintah saat ini juga harus mulai memetakan daerah rawan angin puting beliung secara spesifik. Termasuk membuat peringatan dini kepada masyarakat. Armi menyebutkan saat ini memang sulit mendeteksinya dengan peralatan karena biasanya daerah tidak memiliki perlengkapan yang memadai untuk itu. Namun secara manual, doktor tamatan Jerman ini, menyebutkan lebih memungkinkan. Ditandai dengan awan besar dan cuaca mendung. Biasanya sekitar 3-4 jam setelahnya maka angin puting beliung baru muncul. Dengan demikian masih cukup waktu untuk memberi tahu kepada masyarakat.***



0 komentar: