Membayar bencana dengan nyawa, harta benda, dan uang. Itulah yang kini terus dan terus akan dilakukan
masyarakat dunia menghadapi rentetan bencana yang kejar mengejar. Lalu apa yang akan kita lakukan?
Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andinoviriyanti@riaupos.com
Entah sudah berapa nyawa yang harus melayang, harta benda yang terkuras, dan uang yang digelontorkan untuk membayar bencana-bencana yang susul menyusul ini. Untuk bencana terakhir saja, yakni gempa di Sumatera Barat, Rabu (30/9) dengan kekuatan 7,6 skala Richter, menurut Wakil Presiden diperlukan biaya Rp 3-4 triliunan. Sebuah angka yang fantatis, sehingga Pemerintah Indonesia harus menyerukan meminta bantuan kepada negara-negara sahabat.
Padahal pekan sebelumnya, negara tetangga Indonesia, Filipina juga menyerukan memohon bantuan internasional terkait dengan topan Ketsana dan banjir yang menimpa Filipina. Terutama ibukota negara mereka Manila yang nyaris lumpuh karena dihantam badai dan hujan 12 jam non stop.
Di skala lokal, Riau, pekan lalu, masyarakatnya terutama di Kecamatan Pinggir dan Mandau harus menghadapi bencana angin puting beliung. Dalam laporan Riau Pos, disebutkan ada sekitar 114 bangunan yang rusak, mulai dari rumah warga, posyandu, tungku batu bata yang menjadi tempat usaha masyarakat di sekitar situ dan lain sebagainya. Entah berapa pula uang uang harus dikucurkan untuk menanggulangi bencana ini.
Tiga bencana itu, masih dalam hitungan pekan lalu. Belum lagi pekan-pekan sebelumnya. Apalagi bulan-bulan dan tahun-tahun sebelumnya, maka jumlah bencana yang harus dibayar sudah tak terhingga banyaknya.
Sebagai gambaran, dari data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dua tahun terakhir saja terdapat 1.231 bencana, dengan rincian 888 tahun 2007 dan 343 tahun 2008. Terutama banjir (339 kejadian tahun 2007 dan 197 kejadian tahun 2008), angin topan atau puting beliung (122 kejadian tahun 2007 dan 58 kejadian tahun 2008), banjir dan tanah longsor (52 kejadian tahun 2007 dan 22 kejadian tahun 2008).
Selanjutnya data kerugian yang dialami juga tidak sedikit. Korban meninggal dunia 1.303 tahun 2007 dan 245 jiwa tahun 2008. Korban menderita dan mengungsi 1.970.892 jiwa tahun 2007 dan 647.281 jiwa tahun 2008. Kerugian berupa rumah rusak akibat bencana mencapai 214.411 tahun 2007 dan 34.412 unit tahun 2008.
Proyeksi Bencana ke Depan?
Lalu bagaimana dengan proyeksi bencana pada tahun-tahun berikutnya? Armi Susandi PhD, Wakil Ketua Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), kepada Riau Pos, beberapa waktu lalu, menyatakan jumlah bencana ke depan akan kian banyak baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal itu terkait dengan bencana perubahan iklim, yang akan mengakibatkan musim kemarau dan hujan lebih panjang atau singkat, naiknya suhu dan permukaan air laut, serta lain sebagainya.
Musim kemarau dan hujan yang lebih panjang atau lebih pendek akan rentan mengakibatkan terjadinya banjir, kekeringan dan gagal panen. Kebakaran hutan dan lahan, asap, serta lain sebagainya juga akan semakin sering terjadi dan sulit dihindari.
Peningkatan suhu mengakibatkan angin puting beliung makin sering dan luas terjadi. Daya tahan tubuh melemah dan berbagai penyakit baru bermunculan. Dunia peternakan dan pertanian akan kacau balau karena perubahan genetis maupun fisik yang dialami tumbuhan dan hewan. Sementara itu peningkatan permukaan air laut, mengakibatkan puluhan rumah serta berbagai fasilitas di di daerah pesisir akan terendam. Berbagai dampak lainnya, juga diperkirakan tidak sedikit.
Panen bencana itu, menurut Armi Susandi sudah bisa diprediksi. Namun sulit pula untuk dihindari. Oleh karena itu, meskipun usaha mitigasi (pencegahan) terus dilakukan yang terpenting saat ini adalah upaya penggalakkan upaya adaptasi terhadap berbagai bencana yang akan ditimbulkan.
Misalnya untuk masyarakat yang tinggal di daerah dataran rendah yang rawan terkena angin puting beliung harus membangun rumah yang permanen dan menggunakan atap dari genteng serta melakukan penanaman pohon untuk menurunkan suhu mikro. Untuk masyarakat yang tinggal di daerah pesisir harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.
Upaya memanfaatkan produk lokal, mengkonservasi air, melakukan penanaman pohon, melakukan program hemat energi dan berbagai bahan baku lainnya, serta lain sebagainya juga perlu digalakkan. Bahkan dia menyeruhkan agar pemerintah membuat program adaptasi sekarang juga.
“Jika upaya untuk beradaptasi ini tidak dilakukan pemerintah sekarang, maka biaya yang akan dikeluarkan untuk mengatasi bencana akan jauh lebih besar. Maka dengan meminimalisir dampak bencana, maka uang untuk membayar bencana akan lebih sedikit,” ungkapnya.
Masihkah kita memilih membayar bencana atau mencegah dan meminimalisasi dampaknya yang jauh lebih murah?***