Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal Pesatuan Bangsa-bangsa (PBB) pernah memuji Protokol Montreal sebagai satu-satunya perjanjian internasional yang paling sukses.
n Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru andinoviriyanti@riaupos.com
Pada 16 September lalu, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Protokol Montreal yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ozon Sedunia, Perdana Menteri Timor-Leste Xaxana Gusmao, mengumumkan meratifikasi Protokol Montreal. Keputusan negara termuda di Pacifik itu untuk meratifikasi Protokol Montreal, membuat perjanjian internasional itu menjadi kesepakatan lingkungan pertama yang diterima di seluruh dunia yakni diikuti oleh keseluruhan anggota PBB yang berjumlah 196 negara. Timor Leste menjadi negara ke 196 itu.
Ikut sertanya negara yang pernah bergabung dengan Indonesia itu, sekaligus menyempurnakan pernyataan mantan Sekjen PBB Kofi Annan, sekitar tahun 2003 lalu. Dia menyebutkan bahwa Protokol Montreal adalah satu-satunya perjanjian internasional yang paling sukses. Mengingat perjanjian yang ditandatangani di Montreal ini, diadopsi luas dan diratifikasi banyak negara.
Dalam siaran pers yang disebarluaskan oleh United Nations Environment Program (UNEP), Gusmao menyatakan negaranya sangat senang bisa bergabung dengan negara-negara di seluruh dunia untuk melawan penipisan lapisan ozon dan berusaha untuk memperbaiki lapisan ozon yang telah rusak tersebut.
“Kami bangga menjadi bagian proses penting untuk menjaga lapisan ozon dan melakukan implementasi dan mematuhi Protokol Montreal seperti negara-negara lainnya yang telah lebih dulu dalam perjalanan penting ini,” ujar Gusmao, 16 September 2009.
Protokol Montreal adalah penjabaran tentang pelaksanaan konvensi perlindungan lapisan ozon yang memuat secara rinci langkah-langkah yang perlu diambil oleh negara pihak dalam pengawasan produksi dan konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO). Protokol ini menetapkan ada sekitar 100 bahan kimia yang berhubungan dengan kerusakan lapisan ozon.
Dalam catatan sejarahnya, Protokol Montreal merupakan tindak lanjut dari Konvensi Wina, Australia, pada tahun 1985, yakni pertemuan internasional pertama yang membahas tentang penipisan lapisan ozon. Penelitian tentang penipisan ozon dimulai dari penelitian Kimiawan Frank Sherwood Rowland dan Mario Molina pada University of California, Irvine, pada tahun 1973 yang meneliti dampak CFC di atmosfer bumi. Mereka menemukan bahwa molekul CFC cukup stabil untuk tetap berada di atmosfer sampai ke tengah stratosfer. Selanjutnya CFC (setelah rata-rata 50-100 tahun untuk dua jenis CFC) akan diuraikan oleh radiasi ultraviolet menjadi atom Clorin. Rowland dan Molina kemudian mengusulkan bahwa atom clorin ini kemungkinan menjadi penyebab kerusakan dalam jumlah besar ozon (O3) di stratosfer.
Konsekuensi dari penemuan ini adalah bahwa karena ozon di stratosfer menyerap sebagian besar radiasi ultraviolet-B (UV-B) yang akan mencapai permukaan bumi, maka penipisan lapisan ozon oleh CFC akan mengarah pada peningkatan radiasi UV-B menuju permukaan bumi, yang mengakibatkan peningkatan dalam kanker kulit dan dampak lain seperti kerusakan pada tanaman dan fitoplankton laut.
Pada bulan Juni 1974, Rowland dan Molina bersaksi di hadapan sidang Dewan Perwakilan Rakyat AS pada Desember 1974 tentang analisa penelitiannya tersebut. Setelah kesaksian Rowland dan Molina di DPR Amerika Serikat ini, disediakan dana besar untuk mempelajari berbagai aspek dari masalah dan untuk mengkonfirmasi temuan awal. Pada tahun 1976 National Academy of Sciences (NAS) Amerika Serikat merilis sebuah laporan yang menyatakan kredibilitas ilmiah penipisan ozon hipotesis. NAS terus menerbitkan penilaian dari ilmu yang bersangkutan untuk dekade berikutnya.
Kemudian, pada tahun 1985, ilmuwan British Antartic Survey Farman, Shanklin dan Gardiner mengejutkan komunitas ilmiah ketika mereka menerbitkan hasil kajian yang menunjukkan lubang ozon dalam jurnal Nature - yang menunjukkan penurunan ozon di kutub jauh lebih besar daripada yang diantisipasi.
Itu yang mendasari 20 negara, yaitu pada tahun 1985, termasuk sebagian besar produsen CFC utama, menandatangani Konvensi Wina, yang menetapkan kerangka kerja bagi negosiasi internasional ozon - peraturan tentang zat penipis ozon. Diikuti dengan penandatanganai Protokol Montreal.
Mesipun Protokol Montreal ditandatangani 16 September 1987, namun baru berlaku pada 1 Januari 1989 yang diikuti dengan pertemuan di Helsinki, Mei 1989. Sejak pertemuan di Helsinki, Protokol Montreal telah mengalami tujuh kali revisi. Yaitu pada tahun 1990 di London, Inggris, tahun 1991 di Nairobi, tahun 1992 di Kopenhagen, tahun 1993 di Bangkok, tahun 1995 di Wienwina, tahun 1997 di Montreal, dan tahun 1999 di Beijing.
Achim Steiner, Eksekutif Direktor dari UNEP menyatakan keterlibatan Timor Leste telah membuat Peringatan Hari Lapisan Ozon tahun ini menjadi sangat spesial dan menjadi hadiah khusus. Sekaligus menjadi tanda bagaimana seluruh dunia bersatu dalam menghadapi tangangan lingkungan.
Achim menuturkan tanpa Protokol Montreal dan Konvensi Wina, penipisan lapisan ozon akan mencapai sepuluh kali lipat pada tahun 2050. “Pada gilirannya bisa jadi menyebabkan 20 juta lebih kasus kanker kulit dan 130 juta lebih kasus penyakit katarak mata, dan jangan sebut apa yang terjadi dengan sistem kekebalan manusia, satwa liar dan pertanian,” ujarnya.***