Melihat Peternakan Lebah di SMAN1 PangkalankerinciPunya ekstrakurikuler peternakan lebah? Wah, pasti ngeri-ngeri sedap. Ngeri karena sengatan lebahnya. Sedap karena manis madunya dan tentunya bisa sedikit show off punya ekstrakurikuler yang tak bisa dikatakan biasa.
Laporan Andi Noviriyanti dan Gus GSJ, Pangkalankerinci andinoviriyanti@riaupos.com
Meski ngeri-ngeri sedap, tetapi puluhan siswa-siswi SMAN 1 Pangkalankerinci tetap saja memilih mengikuti ekstrakurikuler yang penuh tantangan itu. Meskipun kadang-kadang dilanda ketakutan juga saat operasi lebah yang rutin dilaksanakan dua minggu sekali dilaksanakan. Di mana mereka memiliki tugas untuk melakukan perawatan sarang lebah yang berbentuk kotak tersebut.
Bayangkan saja, mereka harus membersihkan kotoran lebah di sela-sela sisirannya yang penuh dengan gerombolan lebah itu. Atau mereka harus memberikan oli pada tiang penyangga dan membuang telur calon ratu agar tidak terbentuk koloni baru. Nah, kalau lebahnya lagi tidak bersahabat, alamat lima sampai sepuluh sengatan lebah harus mereka rasakan.
Itu sebabnya, bagi siswa-siswi yang baru bergabung dalam ekstrakurikuler ini, tidak akan berani dekat-dekat saat operasi lebah dilaksanakan. Setidaknya, Kamis (23/12) dua pekan silam, Riau Pos bersama puluhan siswa-siswi ekstrakurikuler BeeSaa harus menjaga jarak dan siap-siap kabur, saat Agus Yogi Radi Pradipta, Ketua Ekstrakuler BeeSaa melakukan operasi lebah untuk menunjukkan madu lebah yang terperangkap di sela-sela sisiran sarang lebah.
Namun bagi siswa-siswi BeeSaa yang sudah senior, mereka tak lagi khawatir dengan sengatan lebah. “Memang sakit pertama disengat lebah. Jika tidak tahan antibodinya maka bisa demam selama dua hari. Tapi kalau sudah terbiasa, sepuluh sengatanpun tidak apa-apa,” ungkap Bayu Saputra, anggota BeeSa, Selasa (28/12) sore, yang hari itu bertugas bersama rekan-rekannya melaksanakan operasi lebah.
Bayu menambahkan, kalau sudah terbiasa disengat lebah, maka paling-paling mereka hanya merasakan bengkak sedikit selanjutnya akan sembuh dengan sendirinya. Meskipun begitu, anak-anak BeeSaa tetap melakukan proses operasi lebah dengan perlengkapan standar. Misalnya mereka menggunakan alap pengasap untuk menjinakan lebah madu yang agresif, masker dan baju pelindung.
Selain harus berani, para siswa yang ikut ekstrakurikuler BeeSaa ini juga harus telaten dan dan mau berkorban waktu untuk merawat lebah-lebah mereka. Jadi, meskipun waktu libur panjang sekolah, tetap saja, di antara mereka harus ada yang melakukan operasi lebah.
***
Menurut Salmiati MPd, pembina ekstrakurikuler BeeSaa, kegiatan ekstrakuler itu dilatarbelakangi karena dulu Pangkalankerinci terkenal sebagai daerah penghasil madu lebah. Itu karena dulu, Pangkalankerinci sangat kaya dengan hutan alam dataran rendah. Namun sekarang seiring dengan makin berkembangnya Kota Pangkalankerinci maka hal itu jadi berkurang.
“Oleh karena itu, kami ingin mempopulerkan kembali. Sekaligus memperkenalkan kepada masyarakat, bahwa lebah madu itu tidak saja dapat diambil dari alam. Tetapi juga dapat diternakan,” ujar perempuan yang biasa dipanggil Cik Salmi oleh siswanya ini, Jumat (31/12) petang.
Sementara tujuan di sekolah untuk media pembelajaran bagi warga sekolah khususnya siswa untuk cinta lingkungan dan lebih dekat dengan alam. Karena dalam usaha peternakan lebah itu, syarat terpenting bahwa sekolah tersebut harus rindang dengan pepohonan dan dipenuhi oleh bunga-bunga. Kalau itu tidak ada, maka tidak mungkin bisa didapatkan madu.
Selain itu, ekstrakurikuler BeeSaa sekaligus menjadi laboratorium alam bagi para siswa untuk belajar tentang insekta. “Kita tahu, bahwa lebah itu mengalami metamorfosis sempurna. Nah, dengan beternak lebah, maka para siswa akan lebih jelas tentang hal itu. Begitu juga bagaimana keterkaitan pentingnya keseimbangan alam. Terlihat bahwa lebah tidak bisa menghasilkan madu tanpa ada tumbuhan berbunga di sekitarnya. Yang jelas banyak hal yang bisa dipelajari siswa lewat ekstrakurikuler ini,” lanjutnya.
Ditanya bagaimana awal mulanya ekstrakurikuler ini terlaksana? Cik Salmi, menceritakan bahwa kegiatan ini telah dirintis sejak tahun 2007 lalu. Dimulai dengan melakukan observasi lapangan dan mengikuti pelatihan peternakan lebah di Kabupaten Kampar. Setelah mendapat bekal ilmu yang cukup maka mereka melakukan uji coba mengembangkan satu block (satu kotak sarang lebah) di SMAN 1 Pangkalankerinci.
Ternyata hasilnya cukup memuaskan. Maka tahun 2008 mereka mengembangkannya menjadi lima block. Setelah itu dikembangkan lagi tahun 2009 dengan dua block tambahan. Pada tahun 2009 itu juga, ternyata para siswa berhasil pula mengembangkan dua block hasil tangkaran sendiri.
“Dulu semua bibit lebahnya dibeli. Namun tahun 2009, sudah ada yang ditangkarkan sendiri. Jadi totalnya sekarang ada sembilan,” ujar Salmiati.
***
Sarang lebah yang diternakan oleh ekstrakurikuler BeeSaa ini berbentuk kotak persegi panjang. Warnanya putih. Jumlahnya ada sembilan. Terletak berdiri di beberapa bagian sudut sekolah. Salah satunya di tepi lapangan bola, di halaman belakang sekolah.
Dulu di luar halaman belakang sekolah ini, terdapat rimbunan pepohonan yang cukup luas. Sehingga, lebah-lebah yang mereka ternakan cukup bisa memenuhi kebutuhan pakan mereka. Tetapi beberapa waktu terakhir ini, rimbunan pepohonan yang terdapat di sekitar areal sekolah mereka sudah mulai ditebangi. Kabarnya akan dijadikan perumahan.
Memandangi sekeliling sekolah mereka tak lagi rimbun dengan pepohonan menjadi kekawatiran tersendiri bagi anak-anak BeeSaa. Sebab tanpa rimbunan pepohonan itu, lebah-lebah mereka akan kesulitan mencari pakan. Bila itu terus menerus terjadi, alamat peternakan lebah mereka tinggal kenangan.
“Kita sudah mengantisipasinya dengan mengusahakan untuk melakukan penghijauan di sekolah. Termasuk juga melakukan penanaman bunga-bungaan. Tapi jumlahnya sangat terbatas. Kita tidak punya banyak biaya untuk membeli bibit dan melakukan perawatan. Jadi kami berharap ada pihak-pihak yang bisa membantu melakukan upaya penghijauan di Sekolah kami. Seperti memberikan bibit gratis, pupuk dan mungkin pot bunga,” ujar Cik Salmi yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan.
Selain persoalan penghijauan, persoalan peternakan lebah madu juga menghadapi persoalan kekurangan sarana dan prasarana peternakan lebah. Menurut Agus Yogi, akibat kurangnya sarana prasarana tersebut, seluruh anggota Beesa tidak bisa melaksanakan praktek secara leluasa. Ilmu yang mereka dapat pun tidak maksimal.
Misalnya, menurutnya, masker baju saat ini hanya tersedia satu buah saja. Begitu juga dengan sarung tangan juga masih sangat kurang. Semua itu, tambahnya, menyulitkan anggota BeeSa untuk beraktivitas secara bersamaan. Apalagi jika ada tamu dari sekolah atau organisasi lain yang ingin melihat dan mencoba secara langsung cara berternak lebah. Maka para anggota BeeSa hanya dapat menceritakan dan memberikan teori tanpa praktek.
Semoga ada pihak-pihak yang mau membantu BeeSaa bertahan dengan melakukan penghijauan di sekolah mereka serta melengkapi sarana prasarana mereka beternak lebah.***