Di setiap penghujung tahun masyarakat dunia (pemimpin negara, pelaku usaha, lembaga lingkungan dan lainnya) bernegosiasi. Mencari jalan terbaik untuk menghadapi perubahan iklim. Bila tidak disikapi dengan baik dengan cepat, perubahan iklim bisa menjadi bencana dunia yang amat menakutkan. Bahkan Al Gore, penerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2007 menyatakan ancaman dari perubahan iklim lebih berbahaya dari ancaman teroris.
Laporan Andi Noviriyanti, Pekanbaru
andi-noviriyanti@riaupos.co.id
Air mata Yvo de Boer, Sekretaris Eksekutif Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) akhirnya jatuh juga pada tanggal 15 Desember 2007, di rapat pleno terakhir di Nusa Dua, Bali, Indonesia. Kedua tangannya segera menutup raut wajahnya, berdiri menuju toilet meninggalkan peserta sidang dan dua orang penting di sampingnya yaitu Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau yang kerap dipanggil SBY.
Hari itu memang hari yang luar biasa melelahkan bagi Yvo de Boer. Sidang yang ikut dipimpinnya itu harus terus diperpanjang padahal sudah lewat dari dua minggu dari jadwal yang ditetapkan. Meskipun sidang yang menemui jalan buntu itu mendapat dukungan moril dari Ban Ki-moon dan SBY dengan kehadiran mereka pada sidang itu, namun Yvo de Boer tak kuasa juga menahan gejolak. Saat delegasi dari Tiongkok menyampaikan sikapnya. Yvo de Boer kecewa karena ada pertemuan tertutup diam-diam dibelakangnya. Namun, untunglah Yvo de Boer segera cepat mengusap air matanya. Sidang perubahan iklimpun dilanjutkan.
Begitulah alotnya negosiasi yang terjadi di UNFCCC. Emosi peserta meluap-luap menghadapi negosiasi yang nyaris menemui jalan buntu. Dimana Amerika bersikeras enggan mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh Protokol Kyoto. Ejekan dan sorakan menjadi suasana yang tidak terelakkan.
Dr Roger Sedjo, pakar kehutanan dan iklim Anggota Panel Perubahan Iklim antar Pemerintah PBB (IPCC), dari Amerika Serikat kepada Riau Pos menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak sepakat pada protokol kyoto itu karena beralasan bukan hanya negaranya saja yang harus mengurangi emisi karbon. Tetapi juga harus diikuti oleh Cina dan India. Dua negara berkembang yang saat ini menggesa percepatan pembangunan yang tidak menghiraukan betapa banyaknya emisi karbon yang mereka hasilkan.
”Saat ini, Cina penghasil emisi karbon tertinggi di dunia. Bukan lagi Amerika Serikat. Kalau Amerika diminta untuk menurunkan emisi karbon, maka hal itu juga harus diikuti oleh Cina. Tidak ada artinya kalau hanya Amerika yang diminta menurunkan emisi,” ungkap Roger.
Tuntutan Roger atau negara Amerika agar Cina dan India serta negara-negara berkembang penghasil emisi karbon tertinggi itu sulit terpenuhi. Mengingat ada kesepakatan dalam Protokol Kyoto yang tidak mewajibkan negara berkembang menurunkan emisinya. Mengingat kalau mereka juga memotong emisi karbonnya maka roda perekonomian mereka akan tidak mampu bergerak. Hal itulah yang membuat geram dan terjadinya ketidakkesepakatan antar negara. Mengingat masing-masing negara bila mematuhi aturan untuk menurunkan emisi karbon itu beresiko menghadapi kemunduran ekonomi. Mengingat pembangunan dengan mempertimbangan pengurangan emisi karbon masih mahal.
Alotnya perdebatan itu masih akan terus mewarnai konferensi perubahan iklim. Termasuk pertemuan UNFCCC di Poznan, Negara Polandia, esok hari (1/12). Musim dingin di Polandia dengan suhu berkisar dua derajat itu diperkirakan akan menjadi perdebatan panjang yang akan melelahkan. Terlebih lagi, menurut Yvo de Boer, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, dunia tengah menghadapi persoalan krisis keuangan global dan resesi ekonomi.
Melawan Musuh Tak Berwujud
Negosiasi akan semakin menguras emosi tak kala harus menghadapi kenyataan musuh dunia bersama itu tidak berwujud. Manusia seperti di buat punya dunia hayal sendiri. Dimana ada jejeran gas rumah kaca yang terdiri dari karbondioksida, metana, nitrogen oksida, dan gas lainnya yang mampu membuat bumi seakan-akan terbungkus kaca.
Gas-gas hasil dari pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan, pabrik, dan lain sebagainya itu membentuk lapisan yang cara kerjanya sama dengan kaca. Di mana cahaya boleh masuk namun tidak bisa keluar. Sehingga panas terperangkap dan meningkatkan suhu bumi. Sama halnya dengan yang dirasakan manusia saat berada di dalam mobil yang terparkir di siang hari dengan kaca tertutup.
Meningkatnya suhu itulah yang kemudian berbuntut panjang. Panas yang terperangkap tadinya akhirnya mengubah banyaknya penguapan air, pola hujan, pola angin dan lainnya. Akhirnya terjadilah perubahan iklim. Mengakibatkan musim jadi tidak menentu. Angin puting beliung menjadi-jadi. Di beberapa negara dingin terjadi panas luar biasa, seperti di Perancis. “Banyak yang meninggal gara-gara panas ekstrim dan tiba-tiba itu. Seperti di Perancis,” ungkap Joyashree Roy, Professor bidang Ekonomi yang menjadi koordinator Program Perubahan Global di Jadavpur University, Kolkata, India, kepada Riau Pos
Semua persoalan itu sangat sulit diruntutkan dan dihubung-hubungkan. Musuh itu sangat sulit dijelaskan kecuali oleh ribuan ahli yang tergabung dalam laporan IPCC. Bahkan Al Gore, si pemenang nobel perdamaian dunia tahun 2007 dalam film dokumenter An Inconvenient Truth mengemukakan musuh tak berwujud ini menyerang pelan namun mematikan. Dia mengilustrasikan musuh itu dalam cerita katak. Bila katak dimasukkan ke dalam bejana berisi air yang berada di atas kompor dalam kondisi mendidih, pasti si katak langsung meloncat. Namun bila si katak itu dimasukkan ke dalam bejana air itu dari awal dimasak-sebelum mendidih-, si katak pasti menikmati peningkatan suhu itu biasa-biasa saja dan menganggapnya suatu kehangatan. Ia akan tertidur lelap dan kemudian pingsan. Tanpa sadar ajalnya telah melayang.
Musuh yang menyerang pelan namun mematikan itulah yang membuat membuat banyak negara merasa bisa menunda-nunda penanggulanggannya. Tidak peduli untuk segera berbuat. Terlebih lagi para ahli pun masih berdebat semakin seru. Namun Joyashree Roy, Professor bidang Ekonomi yang menjadi koordinator Program Perubahan Global di Jadavpur University, Kolkata, India, mengungkapkan perdebatan itu tidak berarti, tidak membuat masyarakat dunia tidak berbuat sesuatu.
Meski sebagian besar banyak pihak yang menyikapi perubahan iklim dengan sangat lambat, namun ada juga daerah yang bergerak sangat maju. Di antaranya adalah Pemerintah Provinsi Albay, Filipina di bawah kepemimpinan Gubernur Joey Salceda. Pemerintah ini menandatangani Deklarasi Albay yakni suatu deklarasi yang seperti menjadi ideologi bagi daerah tersebut untuk berbuat atau melakukan upaya apapun mulai dari perencanaan, penganggaran, penelitian dan pelaksanaan pembangunan semuanya berorientasi berdasarkan upaya untuk mencegah dan menghadapi perubahan iklim.
”Saya pikir, mitigasi dan adaptasi untuk perubahan iklim harus dilakukan. Terlepas apakah itu benar-benar akan terjadi atau tidak, Mengingat para ahli saat ini masih memperdebatkannya. Bagi saya, karena tidak ada yang yang jelek dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bencana perubahan iklim tersebut, maka sudah sepantasnya upaya mencegah dan beradaptasi dengan perubahan iklim dilakukan,” ungkap Joey Salceda.
Setiap daerah dan negara kini memiliki pilihan masing-masing. Namun semakin lambat mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan iklim, maka semakin sulit untuk menghadapi krisis yang menurut Al Gore lebih mengerikan dari serangan teroris. Negosiasi di UNFCCC Polandia masih merupakan jalan panjang bagi negara-negara dunia untuk bersepakat menghadapi perubahan iklim.***