Zamrud Khatulistiwa Itu Masih Ada
Zamrud Khatulistiwa yang sempat masyur menjadi ikon Indonesia di mata dunia sempat menghilang karena tingginya kasus pembalakan liar, perambahan, dan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Namun ikon itu akan segera kembali, bila mata dunia bisa menyaksikan bentangan Suaka Margasatwa (SM) Giam Siak Kecil (GSK) dan SM Bukit batu serta areal konservasi Sinar Mas Forestry (SMF) yang tengah digagas oleh SMF menjadi cagar biosfer pertama di dunia yang diinisiasi oleh pihak swasta.
Laporan Andi Noviriyanti, Bengkalis
andi-noviriyanti@riaupos.co.id
Berada di dalam helikopter yang terbang di atas ketinggian 1.000 kaki atau 300 meter di atas permukaan laut (dpl) tepat di langit SM Giam Siak Kecil (GSK) dan SM Bukit Batu, mataku dibuat takhjub dengan keindahan hamparan hutan alam dan ratusan bahkan mungkin ribuan tasik (danau kecil) yang membentang di dalamnya. Sungguh sebuah pemandangan luar biasa, apalagi saat melihat kilatan air tasik yang menghitam, ibarat melihat berlian hitam yang tengah bersinar.
Namun menurut Kapten Ridwan Zanuddin yang menjadi pilot penerbangan helikopter jenis Eurocopter (EU) 130B4 yang kutumpangi itu, pemandangan air tasik yang seperti berlian hitam itu tidak selamanya seperti itu. Warnanya bisa berubah-ubah, termasuk juga bentuk tasik yang terlihat dari udara. Pria yang kerap terbang di atas kawasan itu, menyebutkan perubahan bentuk dan warna tasik tergantung cuaca dan musim. Lain musim hujan, lain pula musim kemarau. Warnanya bahkan bila langit sedang memerah, membuat air tasik juga bak ragam warna pelangi, menguning ataupun oranye.
Usai menyaksikan tasik-tasik yang terus membentang di sepanjang penerbangan, mataku juga sempat menyaksikan ratusan tasik berukuran mini. Kumpulan tasik itu seperti melihat kaligrafi Alquran yang menawan. “Lihat di sebelah kanan kita, itu seperti kaligrafi,” ungkap pilot yang berkomunikasi lewat earphone kepada penumpangnya.
Hamparan tasik itu, kian mempesona mata saat melihat bentangan hutan tanaman industri (HTI) yang berdampingan dengan hutan alam dan tasik. Sebuah rangkaian pemandangan yang memukau mata. Di mana HTI dengan keseragaman tanamannya, kemudian diselang-selingi seperti mozaik dengan hutan alam, lalu disambut lagi dengan hutan alam yang membentang dengan ciri pucuk dan tajuknya yang perpaduan warna hijau, kuning, oranye, dan putih. Serta ditutup dengan bentangan tasik yang berkilat-kilat.
Perpaduan itu sekaligus menggambarkan hal itu sebagai contoh nyata, kepentingan bisnis lewat HTI dan kepentingan konservasi terjaga dan terawat dengan sangat baik. Itulah yang menurut Deputi Bidang Ilmu Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Endang Sukara sebagai bentuk pembangunan berkelanjutan. “Kepentingan ekonomi dan konservasi yang saling berdampingan,” ungkap pria yang turut serta dalam fly over bersama Menteri Kehutanan MS Kaban untuk menyaksikan calon Cagar biosfer GSK dan Bukit Batu yang digagas di kawasan itu oleh SMF sejak tahun 2003 lalu.
SMF atau dilokal dikenal dengan nama PT Arara Abadi, sementara di internasional dikenal dengan nama Sinar Mas dan Asia Pulp and Paper (APP) mengagas insiatif itu dengan tindakan nyata. Canecio Munoz, Executive Director for Environment SMF menjelaskan tindakan nyata itu terlihat dari komitmen mereka menyisihkan kawasan hutan seluas 72.255 hektare yang terletak di antara SM Giam Siak Kecil dan SM Bukit Batu. Komitmen itu tertuang dalam Sustainability Action Plan (Rencana Aksi Berkelanjutan) yang dilansir pada bulan Februari 2004. Selanjutnya pada tahun 2006 dituangkan dalam dokumen tentang usulan Cagar Biosfer GSK yang kemudian di presentasikan kepada Dinas Kehutanan Provinsi Riau dengan luas kawasan menjadi 172.255 hektare.
Terbentuknya cagar biosfer di tempat itu, tambah Munoz, juga sangat penting untuk melindungi SM GSK dan SM Bukit Batu dari pembalakan liar yang kini cukup marak di beberapa titik. Sekaligus melindungi ratusan tasik dari kekeringan akibat terganggu proses hidrologinya karena hilangnya hutan disekitarnya.
Inisiatif SMF itu, membuat bangga Prof Endang Sukara, yang juga menjabat sebagai Ketua Program Man and the Biosphere (MAB - Manusia dan Biosfer) United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) untuk Indonesia. Pasalnya menurut pria yang memiliki tugas mengkampanyekan program MAB ini, inisiasi oleh SMF merupakan terobosan baru. Pasalnya belum pernah ada di dunia, inisiasi pembentukan cagar biosfer oleh pihak swasta.
“Ini akan menjadi cagar biosfer inisiatif swasta pertama di dunia. Sekaligus menjadi cagar biosfer pertama di Indonesia yang tidak dibentuk hanya karena sebagai keterwakilan bentuk landscape dan sekedar dibentuk di atas taman nasional. Inilah cagar biosfer dengan konsep yang sebenarnya dikembangkan oleh UNESCO,” papar pria bergelar doktor dari Australia ini.
Endang menambahkan, cagar biosfer itu akan menjadi cagar biosfer ketujuh setelah 27 tahun cagar biosfer terakhir di Indonesia dibentuk. Cagar biosfer yang ada di Indonesia adalah Cagar Biosfer Cibodas (1977), Tanjung Putting (1977), Lore Lindu (1977), Komodo (1977), Gunung Leuser (1981) dan Pulau Siberut (1981).
UNESCO mendefinisikan cagar biosfer sebagai ekosistem daratan, ekosistem pesisir/laut, atau kombinasi lebih dari satu ekosistem, yang secara internasional diakui keberadaannya sebagai bagian dari Progam MAB. Sementara itu di Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang secara keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan.
Keberadaan cagar biosfer itu, tambah Endang, tidak saja memiliki fungsi konservasi sumberdaya hayati, ekosistem dan keragaman budaya tetapi juga sebagai model untuk melakukan pembangunan berkelanjutan. Dimana dalam cagar biosfer terakomodir kepentingan konservasi, usaha, dan juga kehidupan budaya masyarakat. Artinya, dengan keberadaan biosfer masyarakat di dalamnya seyogyanya harus lebih sejahtera dan bisa mengambil manfaat dari keberadaan cagar biosfer.
Untuk itulah Munoz dari SMF kini juga tengah terus mengkaji berbagai potensi ekonomi bagi masyarakat yang hidup dan berdampingan di dalam cagar biosfer tersebut. Misalnya upaya pengembangan ikan salai dari jenis ikan selais yang cukup banyak ditemui di daerah itu. “Kalau dulu, masyarakat hanya mengambilnya di alam, ke depan kita mencari agar bisa dikembangbiakkan. Sehingga hasil ikan selaisnya berton-ton. Bisa juga dengan melakukan penangkaran labi-labi (mirip kura-kura, tetapi tak punya rumah) yang memang banyak di tempat itu. Kita gunakan produk itu untuk ekspor. Di Singapura harganya mahal. Satu kilo saja 17 Dolar Singapur. Pokoknya kita akan cari produk yang keringatnya sedikit tetapi hasilnya besar,” ujar Munoz tertawa.
Munoz juga memaparkan bila telah terbentuk cagar biosfer, maka juga akan dicari cara untuk menjual karbon yang ada di dalam kawasan itu. Dana yang di dapat dari perdagangan karbon itu, tambahnya, akan dimanfaatkan untuk menjaga kelestarian cagar biosfer. “Kita ingin untuk mendanai cagar biosfer ini secara berkelanjutan. Jika menggunakan dana perusahaan maka sifatnya tidak mungkin berkelanjutan. Mungkin perusahaan hanya bisa membantu pada tahap awal. Namun untuk selanjutnya belum tentu. Oleh karena itu, kita harus merancang agar dananya berasal jasa lingkungan cagar biosfer. Karena hanya jasa lingkunganlah yang dananya berkelanjutan. Kita berharap ke depan ini bisa menjadi contoh dari perdagangan karbon mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries),” papar Munoz.
REDD adalah mekanisme dimana negara-negara berkembang bisa mendapatkan kompensasi dari negara maju atas hutan alam mereka yang terjaga dengan baik atau tidak dideforestasi. Kompensasi itu dihargai dari seberapa banyak karbon yang bisa diserap dari keberadaan hutan yang terjaga dengan baik itu.
Sementara itu Endang Sukara menyebutkan potensi yang juga tidak main-main adalah potensi satwa, tumbuhan, dan mikroba yang ada ditempat itu. Menurutnya satwa bernilai komersil tinggi yang biasa hidup di alam bisa ditangkarkan dan diperjual belikan. Selanjutnya dilakukan juga berbagai riset untuk menemukan obat-obatan yang bermanfaat untuk antibiotik dan obat-obatan lainnya. “Potensi hutan rawa gambut ini luar biasa. Hanya saja kita belum secara serius mengelolanya. Harga obat-obatan yang didapat dari mikroorganisme itu tidak main-main. Bisa miliaran rupiah. Oleh karena itu di cagar biosfer itu juga harus ada pusat riset rawa gambut. Dari sinilah uang itu berasal,” jelas Endang.
Masyarakat, tambahnya, juga bisa membangun industri kesadaran publik. Misalnya menjual baju kaos seri capung khusus TNZ. Atau bisa juga melakukan jual beli satwa hasil penangkaran, misalnya ikan arwana yang memang dibudidayakan oleh masyarakat sekitarnya. Sementara bagi yang tidak pandai berkebun, tidak pandai melakukan budidaya ikan dan lainnya, mungkin bisa menjadi tenaga marketing. Sebagai produk cagar biosfer maka nilai ekonominya akan tinggi.
Selain itu, tidak kalah penting, keberadaan cagar biosfer yang tengah diupayakan ini akan membuat Indonesia kembali memiliki marwah dan kekuatan untuk tampil di pentas-pentas dunia. Berbagai produk yang dihasilkan dari cagar biosfer, misalnya produksi pulp yang dimiliki Riau yang berada di areal kawasan cagar biosfer itu akan lebih gampang masuk ke pasar dunia. Legimitasi produk yang dihasilkan dari kawasan cagar biosfer juga lebih tinggi dari ekolabel.
Kekuatan cagar biosfer juga sangat kuat di dunia karena memiliki jaringan yang luas di berbagai belahan dunia. Saat ini, setidaknya menurut Endang, ada 151 negara yang memiliki cagar biosfer. Diseluruh dunia ada 532 cagar biosfer. Dengan jaringan yang kuat, maka cagar biosfer yang ada di Riau ini akan terpublikasi dengan baik. Terlebih lagi, cagar biosfer ini memiliki keunikan tersendiri, karena cagar biosfer khusus gambut. Dengan peat dome lake (danau kubah gambut)-nya yang mencapai kedalaman 20 meter, maka akan sangat spesifik.
Menteri Kehutan MS Kaban secara prinsip setelah mendengarkan pemaparan dari Endang Sukara, SMF, dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) pada Kamis (16/10) malam dan Jumat (17/10) siang serta melakukan fly over di atas calon area cagar biosfer menyatakan secara prinsip mendukung terbentuknya cagar biosfer. Menurutnya itulah bentuk sumbangsih Indonesia, selaku pemilik hutan tropis yang sangat besar.
“Ini kelak akan menjadi warisan kita kepada masyarakat dunia. Hanya saja, saya meminta Sinar Mas dan pihak-pihak terkait harus mensinergikan dan saling berkoordinasi tentang menajemen pengelolaannya dan legalitasnya. Harus ada kerja sama bersama pemerintah Provinsi Riau, Kabupaten Bengkalis dan Siak, perusahaan, BKSDA, LIPI dan Departemen Kehutanan. Termasuk juga lembaga-lembaga terkait lainnya, agar cagar biosfer ini terwujud dalam konsep ideal,” paparnya.
Kaban juga mengingatkan pentingnya membangun kesejahteraan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan. Termasuk juga untuk menarik simpati dunia paska dideklarasikan cagar biosfer itu UNESCO. Tidak saja untuk membantu pelestarian cagar biosfer tersebut tetapi juga dalam membangun kesejahteraan manusia di sekitarnya. Termasuk juga untuk membangun image SMF di dunia untuk meningkatkan harga jual dan promosi produknya.
Usaha untuk membentuk cagar biosfer ini sedang diupayakan dan terus didemankan. Semoga cagar biosfer yang menjadi warisan dunia ini bisa mengantarkan Indonesia ke gerbang kesejahteraan dan mengangkat marwah Indonesia yang dulunya sebagai penghasil emisi karbon nomor tiga dunia kini menjadi penyerap karbon. Sekaligus menjadi titik bangkitnya Indonesia kembali sebagai Zamrud Khatulistiwa. ***