This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jurnalistik Berkelanjutan

Jurnalistik Berkelanjutan
Objektifitas Berita Lingkungan: Jurnalistik Berkelanjutan adalah buku pertamaku. Buku ini mengupas tentang pengalamanku tentang dampak pemberitaan lingkungan yang tidak akurat. Berita yang demikian tidak saja mampu mengguncang kehidupan pribadi seseorang tetapi juga tidak membantu lingkungan. Jika Anda ingin membacanya, Anda bisa menemukan sejumlah cuplikannya di blog ini

Minggu, 26 Desember 2010

Lima Tahun, Satu Pelukan


Melihat Kebun Bibit Rakyat di Pelalawan


Hanya butuh waktu lima tahun untuk mendapatkan pohon jabon (Anthocepalus cadamba) berdiameter satu pelukan orang dewasa dengan tinggi di atas 12 meter. Pohon berprospek cerah bernilai ratusan juta per hektare ini, menjadi primadona di Program Kebun Bibit Rakyat (KBR) di Kabupaten Pelalawan. Bahkan, ada yang rela mengganti tanaman sawitnya dengan jabon.

Laporan Andi Noviriyanti, Pelalawan
andinoviriyanti@riaupos.com


“Coba tebak berapa umur pohon ini?” tanya Pramono, Ketua Kelompok Pengelola KBR Dejabon, Rabu (22/12) siang. Riau Pos pun memandangi pohon yang dimaksud Pramono. Tinggi pohon itu sedikit lebih tinggi dari dirinya yang kira-kira 170 Cm. Diameter pohonnya sekitar 7 Cm.

“Pohon ini umurnya baru enam bulan,” ujarnya tak sabar menunggu jawaban Riau Pos. “Pohon jabon ini sedang jadi primadona di mana-mana. Nilai jual kayunya tinggi, cepat besar, lima tahun sudah bisa dipanen. Bagus untuk meubel, plywood,” paparnya lagi.

Tak sampai di situ, Pramono pun melanjutkan ceritanya bahwa areal tempat dia membibitkan jabon itu adalah kebun sawit. “Sawitnya kami dorong ke danau (bagian curam yang tak jauh dari tempat itu). Jabon ini lebih menguntungkan dari sawit. Beberapa tahun ke depan orang akan ramai-ramai mengganti sawitnya dengan jabon,” ujarnya.

Jabon atau di Riau dikenal dengan nama klampayan dan bongkal gajah sebenarnya bukan jenis pohon baru. Pohon ini banyak ditemui di Riau khususnya di tepian sungai. Namun, namanya baru beberapa tahun belakangan ini melambung, khususnya di Pulau Jawa seiring dengan menipisnya pohon alam untuk memenuhi kebutuhan meubel dan plywood. Pohon ini banyak dikembangkan sebagai hutan tanaman rakyat dan sudah bisa dipanen dalam waktu umur lima tahun.

“Kalau di internet-internet, harga kayu jabon dalam satu hektarenya bisa Rp750 juta. Kita nggak usalah mengharap yang seperti itu, kalau satu hektarenya bisa Rp250 juta saja masyarakat sudah untung,” ujar Tohaji, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kebun Bibit Rakyat Dinas Kehutahanan Pelalawan yang hari itu bersama Riau Pos dan rombongan mengunjungi KBR di Kabupaten Pelalawan.

Hitung-hitungannya, menurut Tohaji, diambil dari harga satu kubik kayu harganya Rp1-1,5 juta. Di dalam satu hektare bisa ditanam dengan jarak 4 x 5 meter. Berarti dalam 1 ha bisa 500 batang. Satu pohon satu kubik. Dengan demikian dalam jangka waktu lima tahun, masyarakat bisa mendapatkan uang ratusan juta.

Sementara modal masyarakat tidak terlalu besar. Hanya dibutuhkan perawatan selama satu tahun. Kemudian jabon sudah bisa mandiri. Tidak seperti sawit yang harus dipupuk dan dirawat terus menerus.

Dengan keunggulan itulah, maka ketika ada program Kebun Bibit Rakyat (KBR) dari Kementerian Kehutanan melalui Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri Rokan dan Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, pembibitkan jabon menjadi pilihan masyarakatnya.

Dari dua KBR yang Riau Pos kunjungi hari itu, yaitu KBR Dejabon di Desa Pangkalan Kerinci Barat, Kecamatan Pangkalankerinci dan KBR Ma’cik Manja di Kelurahan Pangkalan Bunut, Kecamatan Bunut terlihat dua-duanya membibitkan jabon. Walaupun KBR Ma’Cik Manja tidak semuanya, mereka hanya membibitkan sekitar 15 ribu batang. Alasannya, kata Ketua Kelompok Pengelola Syamsi Nurdin, belum terlalu ahli membibitkan jabon.

Untuk melihat prospek jabon, Riau Pos juga diajak berkunjung ke kantor perwakilan PT Arjuna Perdana Mahkota Plywood di Pelalawan, sebuah perusahaan yang siap menampung kayu jabon dari masyarakat. Di kantor sederhana itu, Riau Pos melihat bagaimana pintu, meja, kursi dan triplek yang terbuat dari kayu jabon. Warna kayunya putih kekuning-kuningan. Kalau diangkat, kayunya cukup ringan. Selain itu di bagian depan juga terlihat contoh pohon jabon berumur dua tahun. Pohon itu sudah dipotong bagian atasnya, sehingga yang tertinggal bagian bawah dan sedikit pangkal akar. Diameter kayunya sekitar 10-15 Cm.

“Wah, kalau kayu Meranti ni, umurnya sudah sekitar puluhan tahun,” ujar Wiwit dari BPDAS Indragiri Rokan yang ikut serta berkunjung. Pohon jabon memang cukup luar biasa cepat besarnya. Di dalam brosur PT Arjuna, terlihat gambar pohon jabon yang tengah dipeluk seorang pria dewasa. Tercatat di bawahnya, pohon jabon umur lima tahun.

Sebelum ke Pelalawan, Riau Pos juga sempat menyaksikan pohon jabon di halaman samping Kantor BPDAS Indragiri Rokan. Pohon jabon yang berumur dua tahun itu, tingginya sekitar 10-12 meter. Pohonnya tinggi lurus dengan bentuk daun lebar seperti jati.

Pohon ini digadang-gadangkan menjadi bahan baku plywood masa depan. Pasalnya, menurut Tohaji, saat uji coba pembuatan plywood dari pohon jabon umur 3 tahun terlihat bagaimana kayu pohon ini tidak retak. “Kayu jabon tak banyak matanya, jadi tidak pecah bahkan sampai ke bagian akhir kayu,” ujar Tohaji.
***

Jabon menjadi salah satu jenis pohon yang dapat dipilih masyarakat untuk dibibitkan dalam program KBR. Program KBR sendiri, menurut Kepala BPDAS Indragiri Rokan Achmad Wratsongko, Rabu (22/12), merupakan bagian dari program menanam satu miliar pohon atau yang dikenal juga dengan One Billion Indonesian Trees for The World (OBIT). Program itu untuk mencapai komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon sebesar 26 persen. Dengan dasar hukum Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010.

“Untuk mencapai target penanaman satu miliar pohon tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh pemerintah atau organisasi massa saja, tetapi harus melibatkan semua pihak. Untuk itulah masyarakat luas juga dilibatkan. Agar ada rasa kepemilikian, maka penyediaan bibitnya dilaksanakan oleh masyarakat. Dengan cara alih kelola melalui kelompok pengelola yang nantinya dapat menyediakan bibit untuk kebutuhan masyarakat,” papar Achmad.

Tiap-tiap unit kelompok pengelola diberikan bantuan dana sebanyak Rp50 juta namun dengan konsekwensi harus menyediakan minimal 50.000 bibit sesuai dengan keinginan masyarakat atau anggota kelompok. Dengan demikian, masyarakat tersebut, mau menanam bibit-bibit itu yang kepemilikan dan manfaatnya menjadi hak milik yang menanam dan memelihara bibit tersebut.

Dengan demikian lewat program itu sudah tertanam sekitar 400 juta pohon baru yang ditanam secara swadaya oleh masyarakat. Baik di lahan kritis, lahan tidak produktif, lahan kosong, fasilitas umum, sekolah atau yang lainnya.

“Di seluruh Indonesia dibentuk 8.000 unit kelompok pengelola. Jadi total dana yang disediakan pemerintah Rp4 miliar. Diambil dari anggaran APBNP (Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP). Ini merupakan kesepakatan Menteri Kehutanan dan DPRRI,” lanjut Achmad menerangkan tentang program ini.

Selanjutnya di Riau sendiri, menurut Achmad ada 128 unit KBR yang tersebar di tujuh kabupaten di Riau. Ketujuh kabupaten itu adalah Rokan Hulu, Pelalawan, Siak, Bengkalis, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, dan Kepulauan Meranti.

“Wilayah kerja kita sebenarnya sampai ke Sumatera Barat. Jadi totalnya sebenarnya ada 242 unit. Jadi 128 di Riau dan 118 di Sumatera Barat. Kegiatan itu juga dilaksanakan di tujuh kabupaten di Sumatera Barat yakni Payakumbuh, Sijunjung, Limapuluhkota, Sawahlunto, Tanahdatar, Kota Solok, dan Kabupaten Solok,” ujarnya.

Selanjutnya Heri Soleh, Kasi Program BPDAS Indragiri Rokan, menjelaskan bahwa program KBR baru mulai berlaku pada Oktober 2010. Dengan masa pembibitan selama tiga bulan. Dengan demikian, bibit-bibit tersebut dapat ditanam pada tahun 2011.
Mengenai pembayaran KBR tersebut langsung dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) ke rekening kelompok pengelola. Jadi tidak singgah ke mana-mana namun langsung ke rekening kelompok.

Selanjutnya, Heri menjelaskan bahwa pembayaraan KBR dilakukan secara bertahap. “Awalnya diberikan Rp15 juta sebagai DP, selanjutnya diberikan sebesar 60 persen jika pelaksanaan program pembibitan sudah 60 persen. Selanjutnya diberikan sisanya yang 40 persen jika sudah dilaksanakan tuntas,” jelasnya.

Tentang manfaatkan program KBR tersebut, menurut Pramono, sangat mereka rasakan. Menurutnya itu menjadi tambahan modal bagi upaya bertanam jabon yang mereka laksanakan. “Kalau saat ini, sebenarnya untuk membibitkan jabon dengan nilai Rp1.000 per bibit (Rp50 juta dibagi 50.000 bibit) sebenarnya rugi. Namun untuk jangka panjang baru menguntungkan. Saat bibit-bibit jabon ini sudah tumbuh dan bisa dipanen,” ulasnya

Hal senada juga diungkapkan Syamsi Nurdin, Ketua Kelompok Pengelola KBR Ma’cik Manja yang mengembangkan bibit karet dan jabon. “Kalau hitung-hitungan harga bibit karet, untuk stek belum diapa-apakan (belum dimasukkan ke polybag dan dirawat) saja sudah Rp3.000,” ujarnya.

Namun mereka berdua tetap bersyukur dengan adanya program tersebut. Setidaknya membantu dalam menyediakan bibit bagi kebutuhan masyarakat untuk melakukan gerakan penghijauan. Sekaligus juga meningkatkan perekonomian masyarakat karena bibit yang ditanam dipulangkan kembali untuk masyarakat yang menjadi anggota kelompok atau menanam dan merawatnya.***

Minggu, 19 Desember 2010

Tahura SSH, Baru Cuma Bisa Pungut Sampah

Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak nampak. Ibarat pepatah itulah yang menggambarkan keberadaan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim (SSH) yang terletak 20 km dari pusat Kota Pekanbaru. Harta karun seluas 6.172 Ha itu potensinya diabaikan.


Laporan Andi Noviriyanti, Minas andinoviriyanti@riaupos.com

Waktu yang paling tepat berjalan-jalan atau jogging di dalam hutan ternyata bukan di pagi hari. Tapi justru menjelang siang. Pasalnya, di saat itulah oksigen sedang diproduksi sebanyak-banyaknya oleh tumbuhan. Sehingga orang yang sedang jogging bisa menikmati oksigen bersih. Apalagi suasana hutan tetap dingin, meskipun matahari sudah meninggi. Sementara jika jogging dilakukan di pagi hari, maka kita akan berebut oksigen dengan tumbuhan.

Begitu, M Murod, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahura SSH menjelaskan kepada Riau Pos, Rabu (15/12) siang, saat bersama-sama menyusuri jogging track di dalam Tahura. Jogging track seperti yang kami lalui itu menyebar di beberapa tempat. Total panjangnya empat kilometer dan diperuntukkan bagi pengunjung Tahura SSH yang ingin olahraga sehat.

Tahura SSH menurut Murod sangat potensial.

Pasalnya tak banyak lagi hutan alam yang cukup luas dan posisinya tak jauh dari pusat Kota Pekanbaru. Hanya butuh waktu 20 – 30 menit untuk bisa menikmati hutan alam yang banyak menyimpan keanekaragaman hayati itu. Tercatat ada 127 flora dan 42 fauna. Beberapa di antaranya merupakan fauna dan flora langka. Misalnya beruang madu, harimau Sumatera, tapir, burung srigunting.

Di dalam Tahura sendiri, saat menyusurinya bersama Murod, Roni Samudra, dan Sarmaidi Sinaga dari UPT Tahura, Riau Pos, melihat cukup banyak fasilitas yang sudah tersedia. Misalnya guest house dengan tujuh kamar, pusat informasi, pendopo, gazebo, musala, areal tempat bermain, lapangan luas dan bumi perkemahan.

Selain itu ada fasilitas jalan menuju bumi perkemahan Pramuka, Pusat Latihan Gajah (PLG), dan Danau Tahura. Bahkan, Riau Pos, juga melihat kini ada pelebaran jalan jalan pasir batu (sirtu) agar bisa dilalui dua kendaraan roda empat untuk dapat berselisih.

“Wah, potensinya luar biasa juga,” ujar Riau Pos berkomentar saat menyusuri Tahura SSH dan menyinggahi sejumlah fasilitas yang ada di dalamnya. Namun, mengapa Tahura SSH tidak populer menjadi tempat kunjungan wisata? “Ya, belum banyak yang berkunjung. Kita memang sengaja tidak mempromosikan Tahura ini.

Pasalnya saat ini, Tahura cuma bisa memungut sampah,” ujar Murod. “Loh kok?” tanya Riau Pos penasaran.

Murod kemudian menghentikan langkahnya. Dia menunjukkan sampah-sampah yang berada di tepian jogging track yang kami temui. Di sana terlihat ada bungkusan permen, rokok, kue coklat, dan aneka pengemas makanan kecil lainnya.

“Semakin banyak yang masuk, pasti semakin banyakkan sampah yang mereka tinggalkan. Kita tidak dapat apa-apa dari pengunjung. Tahura SSH cuma bisa pungut sampah. Karena belum ada Peraturan Daerah (Perda) Restribusi tentang pemanfaatan dan pengelolaan Tahura SSH,” ujarnya.

***
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Zulkifli Yusuf, berkali-kali menyatakan bahwa Tahura SSH bisa menjadi ikon wisata Riau. Setidaknya, menurut Zulkifli, Tahura sudah memiliki site plan, rencana pengelolaan tahura, master plan Tahura, detail engenering design (DED) untuk taman burung, koleksi tumbuhan, koleksi satwa, dan taman Ilmu Pengetahutan dan Teknologi (IPTEK). Hanya saja, setakat ini, site plan dan dokumen lainnya itu hanyalah berkas bisu.

Belum ada political will yang kuat untuk mengembangkan Tahura SSH sesuai dengan master plan yang telah dibuat. Hal itu setidaknya bisa dilihat dari minimnya anggaran Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk Tahura SSH. “APBD yang ada baru cukup untuk menggaji pegawai saja,” ujarnya.

Menurut Kadishut, Tahura hanya dianggarkan sekitar Rp200 juta setahunnya. Dengan dana itu, tentu tak banyak yang bisa dilakukan untuk pengembangkan Tahura. Mereka sebenarnya sudah berusaha menggali upaya alternatif lainnya untuk tidak bergantung kepada APBD semata.

Misalnya dengan menyurati perusahaan-perusahaan yang ada di Riau untuk ambil bagian dalam membantu mengembangkan Tahura. Misalnya saja, kini mereka mendapatkan bantuan perbaikan dan pelebaran jalan sirtu di jalan utama tahura menuju bumi perkemahan yang terdapat di dalamnya. Namun tentu saja, itu belum cukup.

Masih diperlukan perhatian daerah untuk mengembangkan potensi Tahura, terutama untuk kepentingan ekowisata.

Namun, sebelum berbicara tentang pengembangan ekowisata di Tahura SSH, ada yang terlebih dahulu harus segera diselesaikan. Yakni meluluskan Peraturan Daerah tentang tentang Restribusi Pemanfaatan dan Pengelolaan Tahura SSH, sebagai dasar agar Tahura SSH tidak sekadar cuma bisa memungut sampah.

“Draf Perda telah diajukan ke Pemerintah Provinsi Riau dan kini sedang dalam pengajuan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Saya berharap, tahun 2011 ini, Perda tersebut menjadi prioritas pembahasan di DPRD,” ujar Zulkifli.

***

Potensi wisata seperti apa saja yang bisa dibangun dan layak dikembangkan di Tahura? Kepala UPT SSH Murod menjelaskan bahwa wilayah Tahura SSH cukup luas. Malah jauh lebih luas dari Tahura Ir H Djuanda di Bandung (500-an Ha) dan Kebun Raya Bogor (87 Ha). “Walaupun saat ini, ada pencaplokan atau perambahan wilayah Tahura yang sedang terus kita tertibkan, namun untuk wilayah virgin forest saja (yang terjaga dengan baik) ada 2.300 Ha. Itu artinya masih cukup luas,” papar Murod.

Murod juga menjelaskan bahwa Tahura SSH telah dibagi dalam tiga zonasi, yakni zonasi perlindungan, zonasi pemanfaatan, dan zonasi rehabilitasi. Di zona pemanfaatan dan rehabilitasilah, potensi wisata bisa dibangun. Untuk membangun potensi wisata di kawasan itu, menurut Murod, diperlukan investasi Pemerintah Daerah. Kalau saja, Pemda mau menginvestasikan dananya Rp5 miliar saja tiap tahun, untuk mengembangkan potensi wisata di tempat ini, maka dalam waktu 2 s/d 3 tahun saja investasi itu sudah bisa kembali.

Misalnya saja, menurut Murod, dengan membangun fasilitas cotage-cotage di tepian danau Tahura, penyediaan faslitas outbound, paintball, flying fox, dan lainnya. Menurutnya, yang cukup potensial adalah permainan paintball. Permainan simulasi peperangan dengan menggunakan peluru cat tersebut saat ini sangat tren.

“Di Bandung permainan ini sangat tren. Orang-orang Cina gemar sekali bermain ini. Sekali main Rp300 ribu. Di Tahura dengan memanfaatkan areal seluas 500 haHsaja, bisa dibuat lima kelompok paintball,” ujarnya. Sebagai informasi, paintball ini biasanya ditawarkan dengan harga Rp100-350 ribu, bahkan sampai Rp700 ribu bila menginap untuk per orangnya. Dengan jumlah minimal peserta 30-40 orang. Jadi bisa dibayangkan pendapatan yang bisa diraih dari salah satu sektor ini saja.

***

Menurut Ari S Suhandi, Direktur Eksekutif Indonesian Ecotourism Center (Indecon), Sabtu (18/12), peluang tentang pengembangan ekowisata Tahura SSH di Riau memang sudah patut. Pasalnya Riau memiliki potensi pasar.

“Selama ini saya perhatikan, masyarakat Riau pasti keluar daerah ataupun ke luar negeri untuk berwisata. Nah, mereka itu bisa ditangkap sebagai pasar. Apalagi dengan isu perubahan iklim, wisata ke hutan saat ini menjadi tren. Namun tentunya, harus di kemas dengan baik,” ujarnya.

Pengembangan potensi wisata Tahura, bisa disinergikan dengan investor, perusahaan swasta, pemerintah daerah sendiri, maupun bantuan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Kepariwisataan. Untuk pemerintah daerah, memang tidak perlu langsung jor-joran. Tetapi dilakukan secara multiyears.

Misalnya untuk menbangun taman burung, koleksi tumbuhan, koleksi satwa, dan taman IPTEK. Sementara itu, dalam waktu dekat untuk mendorong aktivitas wisata di dalamnya bisa dibangun kegiatan-kegiatan low cost, high value (biaya rendah, namun manfaatnya tinggi).

“Misalnya pembangunan flying fox yang dananya sekitar Rp30-40 juta. Pembangunan jogging track, track untuk sepeda, ataupun track untuk pendidikan. Untuk track pendidikan, yang diperlukannya hanya pembangunan human resource-nya,” papar Ary.

Senada dengan Ary, Direktur Eksekutif Green Economic Research and Lifestyle (Greenomict) Indonesia Elfian Effendi juga mengungkapkan track pendidikan atau wisata pendidikan paling pas dikembangkan di Tahura SSH. Menurutnya saat ini sedang trend kegiatan ekstrakurikuler lingkungan di sekolah-sekolah yang melakukan kunjungan-kunjungan ke hutan.

“Saya pikir itu bisa juga dikembangkan di sekolah-sekolah di Riau terutama di Pekanbaru. Di sana para siswa belajar tentang berapa umur pohon, jenis-jenisnya dan lain sebagainya. Intinya mendekatkan siswa kepada hutan alam,” ujarnya.

Sebagai wisata pendidikan, maka menurut Ary dan Elfian, tidak ada alasan bagi DPRD untuk tidak mengakomodir pengembangan Tahura sebagai sarana pendidikan. Sekaligus juga dalam mendorong peran serta program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan untuk membantu mengembangkan Tahura.***